22

44 4 0
                                    

"Saat janji itu kamu ingkari, kamu harus membuat sebuah alibi untuk menghindari yg namanya menyakiti." -Anelya

Ane sudah terkulai lemas sesampai di kamarnya. Oma Ren sudah membaringkan tubuh cucunya itu sekitar dua puluh menit yang lalu. Rasa bersalah itu mulai tumbuh saat mengingat bagaimana Ane berjuang melawan traumanya. Ini merupakan salah satu kesalahan besarnya, telah mengabaikan Ane yang masih sangat butuh kasih sayang dan bimbingan.

"Cik, apa yang terjadi padanya tadi?"

Bi Ocik mendekati oma Ren. "Maaf nyah, tadi non Ane nya yang mau ikut. Tiba-tiba non Ane pinsan aja di jalan." terangnya.

Oma Ren membelai rambut Ane lagi. Berharap beban pikiran Ane dapat tersalur juga menjadi bagian dari masalahnya. Ia tidak tega membiarkan Ane melewatinya sendirian.

Mata Ane berkedip-kedip menyesusaikan sinar cahaya yang masuk. Ane merasa pening di bagian kepalanya itu, membuatnya memegang keras pelipisnya.

"Oma!!" Ane langsung memeluk omanya dalam keadaan setengah sadar. "Oma....tolong Ane. Jangan biarkan dia menyentuhku oma. Tolong...." rintih Ane disela-sela tangisnya yang mulai sesenggukan. Oma Ren memeluk cucunya itu erat, membiarkan Ane tenang dalam pelukannya.

"Ane tenang, sayang. Oma disini, tenanglah.."

"Tidak oma....dia menyentuhku.." kata Ane lagi. Pedih sekali memang, menanggung trauma itu sendiri.

Oma Ren memberikan Ane segelas air putih untuk menenangkannya. Ane meneguknya cepat dan berusaha mengatur nafas setelahnya. Dadanya masih naik turun tidak teratur karena mengontrol jumlah oksigen yang masuk. Ia masih jelas ingat sekali, bagaimana dengan menjijikannya Hinsen hampir saja menodainya. Meskipun itu tidak berhasil, tapi setelahnya ia malah mendapatkan kebencian dari Baran lagi.

Ane membenci para bajingan itu. Para bajingan yang mendekatinya hanya karena untuk menidurinya. Ia benci dengan ketidakberdayaannya melawan tuduhan perempuan-perempuan itu, yang dengan tega menyebutnya perempuan murahan.
Mungkin wajah-wajah mereka mulai tampak samar di pikiran Ane, tapi bagaimana perlakuan mereka terhadapnya masih selalu membekas menjadi sebuah ketakutan yang amat sangat dirasakannya.

"Ane, katakan siapa yang melakukan ini padamu?" tanya oma Ren sambil memegang erat tangan Ane.

"Oma...apa yang ayah pikirkan soal surat panggilan orang tua itu salah." jawab Ane masih menangis.

"Ak-aku....aku, maafkan aku oma, sulit sekali menjelaskannya." mata Ane terkatup mengatakan hal itu, pedih hatinya saat mengingat kejadian itu.

"Maafkan oma." langsung memeluk Ane erat. Menyalurkan ketenangan dengan belaian-belaian di puncak kepala Ane lagi.

Ane masih tidak mampu membendung air matanya. Disisi lain karena ingatan buruk itu, dan disisi lain sedang menangisi kemalangan nasibnya itu. Ia kemudian membaringkan dirinya lagi ketempat tidurnya. Berusaha menenangkan diri dengan terlelap, mungkin itu jalan satu-satunya saat ini.

                        ***

Pukul tujuh pagi. Mendung menyelimuti nuansa pagi di hari Selasa bulan kedua ini. Sejuk memang, tapi dinginnya udara membuat aktivitas para penghuni kota sedikit risih. Ada yang kesiangan bangun karena takut kedinginan, ada yang berlomba-lomba mencari bus agar tidak berlama-lama di luar ruangan. Dan parah lagi, akan banyak mobil yang berlalu-lalang karena banyak pekerja yang tidak ingin kedinginan dengan mengendarai sepeda motor.

Ane juga begitu. Masih mengerjap-ngerjapkan matanya malas. Dingin sekali udara walaupun dia sudah menutup jendela. Tapi ia harus menepis kemalasannya dan bergegas untuk mandi. Ia tau bi Ocik bersedia menyiapkan air panas untuk mandi paginya.

MENDUNG | END ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang