13

73 10 2
                                    

"Makasi Ko, udah mau anterin Ane kesini. Koko udah..tinggalin aja. Nanti Ane pulang sendiri." ucap Ane kepada supir setia keluarganya itu.

"Tidak, Non Ane. Jangan begitu, bisa-bisa koko yang dimarah Tuan kalau gitu." tolak Ko Etah pada Ane.

"Ya juga sih, Ko." kata Ane dengan hembusan nafas kasar.
"Koko tunggu di cafe seberang aja dulu ya. Ane bisa kok sendiri disini." ujar Ane sambil tersenyum manis, dibalas anggukan Ko Etah.

"Baik, Non Ane. Tapi jangan lama-lama ya non." seru Ko Etah setuju dengan syarat dan anggukan Ane pertanda mengiyakan.

Ane berjalan menyusuri tempat yang kini sudah sedikit berubah dari beberapa tahun silam. Ia menaiki tiap anak tangga dengan ingatan buruk yang terus saja berputar dalam kenangannya.

Ia memegang kuat besi yang membatasi tangga itu. Tangannya gemetar seraya dalam ingatannya, berputar tentang bundanya yang membawa ia kemari saat ulang tahunnya. Ia pejamkan matanya kuat sembari merasakan tubuhnya yang kini sedang bergetar.

"Bunda.." lirihnya dengan kaki yang sudah tak mampu untuk menopang tubuhnya.

Hampir saja pertahanan itu roboh, tapi sebuah cengkraman menghentikan itu dan membantunya berdiri tegak.

"Kau baik baik saja?" tanya laki laki dengan sebuah topi menghalangi sorot matanya.
Ane tidak menjawab, ia hanya sibuk mengatur nafasnya yang tadi sempat tidak teratur karena trauma itu kembali terlintas dipikirannya.

"Kemarilah," laki-laki itu membantu Ane turun dari tangga, dan mendudukkannya di bangku taman.

"Terimakasih." ucap Ane dengan sebuah senyuman.
"Saya kira kamu tidak bisa bicara. Tapi ternyata kau mengucapkan kata yang tepat untuk saya." balas laki laki itu dengan senyum miring, namun justru terdapat kesan tampan di wajahnya itu.

"Untuk apa kamu kemari?" tanya laki-laki itu.
"Tidak ada. Seharusnya kamu bilang sama-sama, dan aku akan suka itu." jawab Ane tanpa melihat laki-laki yang kini tengah tersenyum menanggapi protes Ane.

"Terimakasih. Setidaknya kau tidak takut berbicara padaku." tambah Ane lagi. Kali ini ia menundukkan kepalanya.

"Heh! Saya rasa kamu orang yang menakutkan sebenarnya, tapi karena kita baru kenal, kau jadi ramah." tanggap sang pria yang langsung ditatap sinis oleh Ane.

"Kenapa kau begitu! Kita baru kenal, bahkan aku tidak mau berkenalan denganmu!" seru Ane dan dibalas tawa kecil laki laki itu.

"Karena biasanya, orang yang nanti akan sering menyakiti adalah orang yang datang dengan berpura pura menjadi orang ramah" ucapnya kemudian.

Ane meranjak dari tempatnya, dan melangkah meninggalkan orang yang dianggapnya aneh itu.

"Hey tunggu! Nama saya Al, mungkin saya adalah orang yang bisa kau mintai bantuan lagi!" seru Al dengan sedikit mengejek.

"Namanya Al? " tanya Ane dalam hati setelah menghentikan langkahnya.
Ane berbalik untuk melihat laki-laki itu, namun Al sudah tidak ada disana.

Ane meninggalkan taman menuju rumah kembali. Niatnya mengunjungi tempat terakhir bersama bundanya itu ia urungkan. Ia harus mengerti bahwa sebenarnya perasaannya sendiri belum mampu menerima kenyataan pahit tentang ibu tercintanya itu.

Ia harus tau, bahwa butuh sebuah luka baru untuk menyembuhkan luka lama. Tapi hatinya tidak tau akan bagaimana, apakah masih mampu menahan begitu banyak luka yang akan datang. Patah hati itu harus ia sembuhkan atas kehadiran cinta yang baru, mengajarinya cara untuk bisa bertahan hidup.

Ane harus mengerti, bahwa masih ada seseorang yang mencintainya meski orang itu sedang berada jauh darinya. Patah hati itu, ia harap bisa kembali hidup setelah kedatangan seseorang.

                        ***

Beralih kekeindahan sebuah kota di Canada. Kota metropolitan yang banyak dihuni oleh para pengusaha.
Disana, kota yang diimpikan sebagian orang untuk membangun mimpi mereka dengan usaha dan kerja keras.
Banyak harga diri bertebaran disetiap kerja sama, banyak orang dengan ambisi, ego, ketenaran dimana-mana.
Dan disanalah, sebuah rumah besar yang ditempati sebuah keluarga kaya raya tinggal.
Keluarga yang dulunya pernah memiliki kenangan yang indah di tanah air bersama rekan mereka.
Kini mereka hidup bersama, membangun sebuah kebahagiaan untuk putra satu-satunya yang mereka punya. Bersama sang putri kecil kesayangan sang kakak.

"Prilkis, kemari." panggil seorang laki-laki berkulit putih bersih.

"Tidak, kakak. Aku tau, papa tidak akan mengizinkanku pergi kesana." tolak seorang gadis remaja berambut lurus sepanjang pundaknya, gadis itu cantik, namanya Prilkissa Antasari. Nama yang dipadukan antara Canada-Indonesia itu sangat cocok untuknya.

"Hey! Kau cengeng sekali. Aku tidak suka kau cengeng begitu." seru sang kakak laki-laki kesayangannya itu.

"Lalu, apa kakak mau membujuk papa? Aku tau kalau kau yang minta, papa akan menurutinya." pinta Prilkis pada kakaknya yang tengah duduk dihadapannya.

"Tentu saja. Kakakmu pasti akan memenuhi keinginan adiknya." ucap laki-laki dengan yakin dan tersenyum sambil membelai rambut adiknya.

"Jio.." panggil sang mama sambik membawa nampan berisi segelas susu.

"Terimakasih mama." seru laki-laki yang namanya adalah Jio, sebelum akhirnya meneguk susu itu hingga tuntas.

"Aku tidak mengerti, kenapa mama selalu membuatkan kakak susu, sedangkan untukku tidak." kata Prilkis seperti merajuk.

"Kamu tidak tau, bahwa kamu jauh lebih bahagia darinya, bahkan kalau kau mau, kau bisa mama buatkan susu seumur hidupmu. Tapi sayangnya..kakakmu tidak seberuntung dirimu." ucap Dylitha seperti menahan sesuatu yang amat menyakitkan dalam hatinya.

"Sudahlah ma. Pril, mama mau kamu bisa mandiri, seorang perempuan tidak cukup hanya menghadirkan cinta dalam sebuah keluarga, tapi seorang perempuan juga harus mampu menjaga cinta itu dengan mengurus keluarga mereka." saran Jio terhadap Prilkis.

"Ma, Jio berangkat dulu ya. I love you, Ma." pamit Jio sebelum mencium pipi Dylitha. Kemudian ia pergi menuju kampusnya dengan mengendarai sepeda favoritnya.

Dia memang tampan, wajahnya menunjukkan keramahtamahan. Senyumnya meneduhkan setiap perasaan yang melihatnya, dan yang paling indah dari dirinya adalah... sorot matanya. Disana ada rasa bahagia, namun terlintas sebuah pedih jika ditatap dalam. Tentu saja, mata coklat terangnya itu mencoba untuk menyembunyikan sesuatu.

Ia menggayuh sepedanya perlahan. Menikmati keindahan kota yang hampir 8 tahun ini ia tempati. Kota yang penuh dengan gedung-gedung tinggi dan pemandangan yang indah. Ia tersenyum merasakan setiap angin musim gugur yang menerpa lembut kulitnya.

"Seandainya senyum itu bisa kulihat setiap hari. Seandainya wajah lugu itu bisa kunikmati setiap saat. Dan seandainya, dirimu tidak hanya bayangan semata sekarang...aku ingin sekali membawamu dalam pelukku. Sudah selama ini, apa mungkin ia masih ingat denganku? Ahh..tidak...percaya diri yang terlalu tinggi ini, bisa hancur jika ia memang sudah melupakanku. Aku merindukanmu, sahabatku.."  ucapnya dalam hati. Meski kini, dalam kesehariannya ia hanya bisa bernarasi untuk gadis yang ia rindukan itu, namun ia selalu berdoa agar Tuhan mau mempertemukan mereka, setidaknya saat ia masih mampu bertahan untuk hidup.

Bersambung...

Maaf ya readers, ceritanya masih kurang😬
Tapi saya akan berusaha kok sering² up.
Soalnya saya masih sibuk dengan pendaftaran,hihihihi😂
Mohon doanya ya temen² biar bisa terus lanjut🙏

Jangan lupa vote dan ikuti ceritanya😊
Follow author ya, nanti saya folback.
Untuk quote bisa temen² liat di akun @quotesdanilasr
Untuk typo yang berserakan, harap maklum yeww, thanks for read guys💕💕

Sampai jumpa❤

MENDUNG | END ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang