"Papa, kalau kau masih disini, tolong..." jeda sebentar, deru napas Addo meningkat tajam begitu saja seolah ia berada dibawah air. Susah payah ia menelan ludah dan entah kenapa lidahnya sempat terasa kelu.

"Tolong..." lanjutnya. "...tolong perlihatkan wujudmu."

Addo lantas diam, menunggu dengan harap-harap cemas. Jantungnya masih berdebar-debar kencang, dadanya terasa ngilu. Matanya tak bisa berhenti memperhatikan keadaan seluruh ruangan. Semenit, dua menit berlalu, namun masih tidak terjadi apa-apa. Tubuh Addo mengigil lebih keras, padahal hawa sore hari itu panas.

"Papa, tolong..." Perasaan kecewa mulai membungkusnya. "Papa, aku... aku ingin bertemu denganmu..."

Dia menunggu lagi.

Masih tidak ada apa-apa juga.

Pandangannya jatuh tertuju ke lantai bersamaan dengan hilangnya harapannya. Kepanikan, kekecewaan dan ketakutan bercampur menjadi satu tanpa bisa ia kendalikan sehingga Addo bisa merasakan dirinya tenggelam ke dalamnya bulat-bulat. Disaat ia hampir meledak dalam tangis, tiba-tiba ada yang memeluknya dari belakang. Addo terlonjak sedikit kemudian menoleh, tentunya sambil berharap yang memeluknya adalah ayahnya. Tapi ternyata bukan juga. Itu ibunya. Sekali lagi ia tenggelam dalam kekecewaannya, namun sengaja ia tutupi.

Ibunya memeluknya tanpa ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Suasana hening total. Semakin lama pelukan itupun tidak terasa menenangkan seperti yang seharusnya melainkan membuat Addo canggung dan makin ingin menangis. Dia ingin melepaskan diri, tapi dilain sisi dia merasa tidak enak dengan ibunya. Apalagi, Addo merasakan ibunya membenamkan wajahnya di bahu kanannya.

Ibunya sedang sedih, dia tahu. Tapi kalau ada hal yang paling melukai perasaan Addo, hal itu bukan tentang dirinya sendiri, melainkan melihat ibunya yang bersedih.

"Addo," panggil sebuah suara tiba-tiba, membuyarkan keheningan. Addo menoleh pada ibunya, mendapati posisinya tidak berubah sedikitpun. Tunggu, bukannya tadi ada--tadi dia dengar dengan jelas ada yang memanggil namanya. Awalnya Addo mengira itu ibunya, tapi... Ah, mungkin Addo hanya berhalusinasi.

Addo melepas pelukan ibunya sebentar agar ia bisa berbalik badan dan balas memeluknya lebih erat. Diletakkannya dagu diatas kepala ibunya, karena tubuh Pat memang lebih pendek dari Addo, maka mudah baginya melakukannya. Sekarang Addo mengerti maksud dari pelukan ibunya.

***

Pat hanya bisa diam dan bertanya-tanya dalam hati, sambil berusaha sebisa mungkin untuk tidak memperlihatkan kecemasannya. Greyson berdiri selangkah didepannya, dengan posisi menghadap Addo yang sedang tertidur pulas. Ia meletakkan salah satu telapak tangannya di atas kening Addo, dan 'menyerap' sebuah cahaya putih pucat dari sana. Ingin sekali Pat menghentikan perbuatannya, namun dia sudah terlanjur janji untuk tetap diam dan tidak mengganggu.

Sekarang sudah terlambat untuk menarik kata-kata persetujuannya pada Greyson.

Begitu ia selesai, suasana diantara mereka tetap tidak berubah: hening. Mata biru Pat memperhatikan Greyson dan Addo bergantian, yang entah kenapa membungkam mulutnya untuk sesaat berikutnya lagi. Maksudnya, sebenarnya dia mengkhawatirkan keadaan mereka berdua.

Terutama Addo.

Greyson berbalik badan, menghadapnya sekarang dengan ekspresi datar-dingin-mengerikan sosok hantunya. Kata pertama yang keluar dari mulutnya adalah, "Ayo."

Pat tetap bergeming di tempat, dengan perhatian sepenuhnya masih ada pada putra semata wayangnya. Bagaimana bisa dia meninggalkannya sendirian sekarang? Muncul sebersit keheranan dalam benak Pat sendiri perihal kenapa bisa ada saja hal yang terjadi pada putranya.

Father For Addo -g.c (Addo Series #1)Where stories live. Discover now