00. Warsa Nol Dua

4.3K 466 85
                                    

Ketika pendar asterik tersebar abstrak di kanvas bumantara, teruk bahana yang terkuai-kuai dari pita suara hingga seraknya ilu pilu ranum Wanita, berusaha dengan sekuat tenaga.

Aroma gangsi sanitasi yang menguar pada langit-langit bilik, dan peluhnya membanjiri bak tumpah ruah tirta yang menukik-nukik, pun sedang berada di anantara hidup dan mati.

"Ayo dorong terus, Bu!"

"Ya, sedikit lagi! Kepalanya sudah terlihat, Bu."

Erangan demi erangan terus mencekik tenggorokan, yang mana dengan hasta tertaut erat di sela genggaman.

"Dorong lagi, Bu! Sedikit lagi!" titah sang Bidan. Ia terus menilik seberapa sering munculnya insan yang sekejap lagi akan turun ke Bumi.

Perempuan dewasa dengan usia sekitar dua puluh empat itu melemas. "Bidan, saya sudah nggak kuat lagi," tuturnya melemah. Netranya hampir terkatup lengah. Ia tidak kuat lagi sebab tenaganya sudah terkuras habis.

Lelaki pendamping hidupnya itu menggeleng terus menerus. Tak setuju dengan rakit kata Istrinya yang bisa menggerus kalbu. "Jangan bilang begitu. Ayo semangat, Sayang... sebentar lagi bayi kita akan lahir." Nada-nada afeksi lekas menggetarkan hati si Wanita. Dikecupnya perlahan di kening sang Istri tanpa watas.


Taruni itu menatap suaminya dengan tirta yang meluber dengan sendirinya. Rasa sakit pada pangkal paha, atau bagian selatannya yang sudah robek itu, semakin mengerang hebat. Surai panjang yang sudah basah oleh cairan ekskresi, mengembangkan senyum mendengar untai katanya.


Benar, anak pertama mereka akan tiba sebentar lagi.


Lalu dengan semangatnya, ia berupaya untuk terus mengedan. Mengerahkan sisa usaha untuk bayinya tercinta. Peluh di dahi sempit jua menurun dengan derasnya. Ia berusaha sekuat tenaga dengan sisa miliknya.

"Oek, oek, oek!"

Tubuhnya melemah, aksa jelaga hampir terkatup, namun senyum setengah wulan itu tertampak tipis.


"Selamat untuk Bapak dan Ibu... bayinya jagoan, jenis kelaminnya laki-laki."

Dentang-denting notasi telak merujuk dua lingkaran yang berhimpitan. Pukul delapan Waktu Indonesia Bahagia, sepasang suami istri ini bak memekarkan bunga pada ladang sanubari. Lantas sang Suami merapalkan ayat-ayat berupa adzan untuk anak lelaki.


Ibu dengan daksa yang terkapar tak berdaya itu menangis tertahan. Tidak menyangka akan kelahiran buah hati yang lahir ke Bumi Kediri dengan keadaan sehat sentosa. Lanjar, hasta gemetarnya menerima segumpal daging kemerah-merahan di atas dadanya, memeluk dan mengelus perlahan malaikat kecil itu dengan kasih sayang.


Kedua sukma yang diterpa rasa kebahagiaan pada indurasmi bulan sebelas, menyimpulkan kurva. Hendak merajut kata-kata pengenal untuk malaikat kecilnya.


"Bayu Renjana..."

Begitu semat asma bayi mungil ini. Lihatlah, betapa gemas kedua pipi merahnya, genggaman kecil pada hastanya, atau hidung dan bibir minim milik Bayu Renjana.


Tatkala jagat Kediri ditoreh wulan berseri-seri, anak lelaki dengan surai legam panjang ini, diberi nama oleh Semesta sebagai,


Lentera Malam...

Namun tak seperti namanya, ia lebih dari sekedar Lentera Malam.




Hanya utas kenang untuk sang Cinta seorang...

Kilas balik masa lalu yang sempat bertandang...

Untuk Bayu Renjana dan insan puan bernetra gemintang...













LENTERA MALAM

ft. Jake ENHYPEN

[ Lini masa lalu Kediri ]

©lenteramalam1, 2021 ✰ೃ









-BASED ON TRUE STORY

Dedicated to My Parents & Myself




Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



DISCLAIMER!
Dimohon untuk tidak menjiplak
ceritera ini, sebab sudah tertoreh
dengan kasat kehidupan pribadi.


Lentera Malam | JakeWhere stories live. Discover now