Terjebak Ingatan Lama

Depuis le début
                                    

"Nggak usah Bu, Ara cuma mimpi buruk biasa kok. Mungkin kecapean," kataku berbohong. Aku hanya tidak ingin membuat ibu khawatir. Ibu sudah cukup menderita dengan perceraiannya tiga tahun lalu dan juga kewajibannya untuk membesarkanku. Aku tidak mau menambah bebannya. Terlebih aku tak mau ibu harus berurusan lagi dengan masa lalu yang menghancurkan ibu itu.

"Tapi...," ucapnya masih tidak percaya. Aku pun meraih tubuh itu dan memeluknya erat.

"Kayaknya Ara cuma kangen tidur sama Ibu."

"Kamu nih udah gedhe bahkan udah punya pacar masih juga pengen dikelonin Ibu." Suara tawa ibu membuatku lega dan makin menguatkan pelukanku sebagai tanda permohonan yang tak bisa ditolak.

Setelah berdebat beberapa kali, ibu pasrah juga dengan keinginanku. Ibu memposisikan diri tidur terlentang di sebelahku. Aku pun langsung merebahkan kepalaku di lengannya dan ku peluk tubuh dengan aroma yang menenangkan itu. Sontak rasa hangat menjalari tubuhku terlebih belaian ibu di kepala benar-benar membuatku menyusuri lagi hawa kantukku. Beberapa kali aku melihat ibu tersenyum memandangi wajahku. Sungguh aku ingin mempertahankan senyum itu selamanya walaupun aku harus menjadi penipu sekali pun.

***

"Kamu nggak apa-apa kan?" Entah sudah berapa kali aku mendengar pertanyaan itu. Dari ibu dan sekarang Arsya. Tepat saat aku masuk kelas, dia yang awalnya duduk langsung menghampiriku untuk memelukku lalu munculah pertanyaan itu. Wajah khawatir yang membuatku terharu, tapi juga tidak enak karena aku merasa merepotkannya.

"Aku nggak apa-apa,"jawabku setenang mungkin.

"Jangan bohong, Ra!" Randu yang awalnya berdiri di belakang Arsya langsung memeriksa kedua telapak tanganku. Karena tak menemukan satu pun titik-titik keringat dingin, dia dengan terpaksa menyetujui perkataanku.

"Semalem kamu tidur nyenyak kan?" tanya mereka hampir bersamaan.

"Iya...." Mereka menampakkan ekspresi ketidakpercayaan. Aku jadi terpaksa menimpali lagi,"kalau nggak percaya tanya aja ke Ibu, aku tidur sama Ibu semalem." Perkataanku yang tidak terlalu bohong, tapi juga tidak terlalu benar.

Awalnya mereka ingin menyerang ucapanku lagi, tapi kedatangan seseorang telah mengalihkan perhatian kami. Jaket hijau mencolok yang sangat aku kenal itu, entah kenapa membawaku mengingat mimpi semalam. Sontak tubuhku menggigil pelan. Melihat keadaanku, Randu langsung mendekati orang itu, dia Kak Wira.

Hari ini aku memang tidak berangkat bersamanya dan memilih berangkat lebih pagi bersama Ibu. Tindakan yang cukup dicurigai ibu, untung gombalanku yang ingin bersamanya membuatnya percaya. Meskipun berjuta pertanyaan menyerangku sepanjang jalan. Tapi itu lebih baik dibanding aku harus berhadapan dengan pikiran burukku tentang Kak Wira.

Randu menarik Kak Wira perlahan keluar kelas dengan berdalih ingin mengatakan sesuatu. Beberapa kali Kak Wira mencoba melawan, tapi akhirnya Randu berhasil membawanya pergi dari hadapanku.

Arsya yang mendapati gelagat anehku langsung membantuku berjalan sampai ke bangku. Dan seperti biasa semua anak di kelas ini mulai membicarakan spekulasi mereka tentang apa yang dilihat mereka barusan. Tapi aku tidak peduli, ketakutan ini membuatku sibuk sendiri. Arsya yang pernah mendapati keadaanku yang lebih buruk hanya diam tak menanyakan apa pun. Dia malah sibuk menghapus keringat dingin di kedua tanganku. Kediamannya seolah mengatakan bahwa aku tidak sendirian, ada dia disampingku jadi jangan takut. Dia menggenggam tanganku lembut sambil tersenyum dan secara ajaib getaran yang menjalari tubuhku perlahan berhenti. Hingga akhirnya aku bisa selamat melewati pelajaran sampai ke jam istirahat pertama.

Aku tidak tahu apa yang dikatakan Randu pada Kak Wira, aku juga enggan menanyakannnya. Ada rasa canggung yang tiba-tiba membuatku tak sebebas dulu membicarakan Kak Wira kepada Arsya dan Randu. Satu hal yang pasti ucapan Randu sangat manjur hingga kami bisa mengerjakan tugas ekonomi di perpustakaan dengan tenang tanpa kehadiran Kak Wira. Tapi aku harus berjalan kembali ke kelas sendirian karena Randu jadi sedikit sibuk untuk mempersiapkan perlombaan basket dan Arsya yang kelaparan terpaksa meninggalkanku ke kantin. Aku lebih memilih kembali ke kelas karena aku ingin sendirian walaupun itu tidak mungkin. Pemandanganku yang tak bersama Kak Wira saja sudah jadi sorotan bahkan sindiran. Untung saja perasaan dan pikiranku sudah sibuk jadi aku tak menggubris mereka. Aku berjalan acuh tak acuh menyusuri lorong-lorong menuju kelasku.

Sesampainya di kelas, hanya ada lima anak perempuan bergerombol di belakang kelas. Mereka sedang asyik membicarakan cerita drama korea yang diputarkan salah satu saluran televisi nasional. Mereka hanya melihatku sesaat lalu menyapa terus melanjutkan lagi obrolan mereka. Aku langsung menuju mejaku dan menemukan minuman fruit tea rasa apel dengan sebuah note yang bertuliskan periksa lacimu. Aku refleks melihat laci dan menemukan sebuah kotak makan kecil dengan sebuah surat menempel di bagian atas. Aku ambil surat itu dan membacanya.

Dear Aksara,

Tadi aku ke kantin sendirian karena kamu lagi nggak mau nemenin aku. Saking sedihnya aku jadi diajak ngobrolsama beberapa dagangan. Ada yang ngejekin aku, tapi ada juga yang ngedukung aku kayak gorengan di warung Bu Siti. Mereka punya pesen buat kamu, tapi karena kamu belum bisa bahasa gorengan jadi biar aku terjemahin ya.

Pak tahu susur bilang gini,"Aksara, tahukah kamu kalau Wira sangat menyesal dengan perilakunya kemarin?"

Terus Bu Tahu bakso nimpalin,"Aksara tahukah kamu juga kalau Wira wajahnya murung seharian karena rindu kamu?"

Tante Tahu goreng nggak mau kalah nyahutin, "Aksara tahukah kamu kalau Wira nggak pernah bisa berhenti mencintai kamu?"

Eh tahu-tahu Om tempe mendoan ngikut ngomong, "aku sih nggak tahu karena aku tempe." Ya udah karena emosi aku makan deh semua tempe medoan. Biar kamu jadi tahu bukan tempe.

Your Wira Sableng

Nb: Ngambeknya jangan lama-lama ya soalnya banyak yang demo pengen ketemu kamu lagi. Katanya sih nggak kuat kalau harus nahan kangen. Ada Angki, Rasta, aku, dan aku aku yang nggak kehitung jumlahnya.

Kubuka kotak makan itu dan terlihatlah satu tahu susur, satu tahu bakso dan satu tahu goreng. Senyum pun terbit di wajahku. Sungguh Kak Wira adalah manusia tereceh di muka bumi ini. Rindu seketika datang, tapi tidak sendirian. Bayangan mimpi semalam ikut mampir juga. Mereka bertengkar di pikiranku. Aku hanya bisa merebahkan kepalaku sambil menatap kotak makan itu. Entahlah perasaan mana yang harus aku ladeni karena keduanya menyuguhkan pendapat mereka yang menurutku logis.

Sudahlah diam kalian, biar aku tentukan sendiri apa yang harus aku lakukan.


***

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.

***

Halo semuanya, selamat di hari pertama bulan April...

Gimana part ini? Nyebelin? Nggemesin? Atau gimana komen ya? Jangan lupa juga buat vote dan share karena dukungan kalian sangat amat berguna untuk kelangsungan cerita ini. Inget jangan pada senyum-senyum sendiri lihat gorengan setelah baca ini. Hhheee...

Jadi sebenarnya Ara kenapa sih? Sakit apa? Terus mampukah Wira sableng ngebantuin Ara sembuh dari sakitnya atau malah bikin makin aparah? Tunggu di next ya....

Udah ah, ketemu lagi di hari Rabu ya. Semangat buat kita semua untuk memperjuangin apa pun. Semoga diberi kelancaran dan kesuksesan. Aamiin...

P.S. I love you

Prilda Titi Saraswati

Find me:

WP: prildasaraswati

IG: @prildasaraswati 

Stairways to HappinessOù les histoires vivent. Découvrez maintenant