Part 46 - Seperti Seharusnya

26.9K 3.3K 881
                                    

Alhamdulillah akhirnya bisa apdet juga walau telat dan gak banyak, semoga masih bisa dinikmati ya, selamat membaca ^^

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pukul sembilan lebih lima belas menit dan Revas masih terjaga di dalam kamarnya yang benderang. Cowok itu duduk bersila di atas tempat tidur dengan pandangan terpancang pada sepasang sepatu konverse di atas meja belajar. Revas menatap sepatu itu lama seraya mengingat banyak hal yang pernah dilaluinya di sekolah. Baik saat bersama teman-teman kelasnya, bersama Ella, atau pun bersama Cinder.

Pertandingan basketnya yang tertunda beberapa hari lalu membuatnya dihadapkan pada dua pilihan sulit yang ditawarkan sang ayah; tetap di Gentra tetapi kelab basket sekolah ditutup, atau pindah ke sekolah yang direkomendasikan ayahnya dalam waktu dekat. Revas tahu ayahnya tidak pernah main-main dengan ucapannya, tetapi tidak menduga jika waktu yang diberikan untuk membuat pilihan sesingkat ini.

Revas mengembuskan napas berat. Mengingat apa yang dialami Ella, ia tidak bisa pura-pura tidak bersalah. Fakta bahwa perasaan tertarik Donna padanya merupakan salah satu sebab penyerangan yang diterima anak perempuan itu, membuat Revas benar-benar merasa bersalah dan tidak berguna sebagai sahabat. Sekali pun Ella mengatakan itu bukan salahnya, tetap saja kejadian itu menghantuinya.

Berulang kali Revas menimbang dan rasanya ingin tetap tinggal. Ada banyak hal yang belum sempat ia lakukan, tetapi mengingat kejadian yang menimpa Ella membuatnya cukup tertekan. Ditambah harus membiarkan basket hilang dari sekolahnya bukanlah hal yang ia harapkan. Ia tidak ingin pilihannya menghapus kesenangan dari orang-orang yang menyukai permainan itu dengan tulus.

Menarik napas dalam, Revas melirik jam di dinding, kemudian berjingkat dan menyambar jaket di sandaran kursi belajar. Setidaknya ada yang perlu ia sampaikan sebelum kesempatan itu menghilang.

---------------------------------------------

"Tidur, La, udah malem," kata Cinder ketika lagi-lagi mendapati Ella masih terjaga padahal seharusnya cewek itu sudah terlelap.

"Aku belum ngantuk," jawab Ella.

Hanya ada Cinder dan Ella di ruangan itu. Mama dan Papa pulang satu jam yang lalu. Mereka sepakat untuk berbenah bersama karena besok Ella sudah diperbolehkan pulang. Keadaannya sudah jauh membaik. Ella sudah mampu bergerak dan turun dari tempat tidur tanpa perlu dipegangi.

Suasana kembali hening. Cinder sibuk dengan telepon genggam sementara Ella fokus menatap langit-langit kamar.

"Cinder, kalau aku pindah sekolah menurut kamu gimana?" tanya Ella tiba-tiba.

Cinder mengangkat pandangan. "Kamu yakin?"

Ella mengangguk tanpa menoleh. "Kayaknya aku nggak bakal sanggup balik ke Gentra. Setiap ingat kejadian waktu itu, aku... takut. Rasanya kayak mau mati."

"Jangan ngomong sembarangan," serobot Cinder. "Kalau kamu memang mau pindah, nanti aku bantu bilang ke Mama dan Papa. Mereka juga pasti setuju."

"Aku ngerepotin terus, ya?"

"Kamu pikir aku nggak?"

Keduanya saling lirik kemudian terkekeh.

"Cinder," Ella memanggil lagi.

"Hm?"

"Maafin aku, ya. Aku selalu nggak nurutin kata-kata kamu, padahal kamu yang lebih tau."

CINDER - ELLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang