Part 3 - Rasa Yang Berbeda

40.6K 3.5K 78
                                    

            Ritme napas yang tersengal dan pantulan bola basket yang berulang-ulang menemani Cinder di tengah lapangan basket SMA Athalea yang sudah sepi. Jam pelajaran sudah selesai sejak satu jam yang lalu, menyisakan beberapa murid yang sibuk dengan tugas kelompok atau ekstrakurikuler yang diikuti, termasuk Cinder. Tapi sayangnya ia bukan sedang menikmati ekstrakurikuler yang diambil, tapi menghabiskan waktu sampai senja menyambut dan memperpendek waktu menunggu kepulangan Papa dari kantor.

Matahari yang hampir lansir ke barat mengiringi setiap entakan kaki dan tangan Cinder saat mendribble bola. Peluh sudah membasahi kening sampai merembes ke punggung seragamnya, tapi cewek itu belum juga mau berhenti. Beberapa murid yang melihatnya sesekali bertepuk tangan saat bola memasuki ring dengan tepat, tapi ia menganggap angin lalu dan tak melirik sedikitpun.

Cinder mendribble bola di titik tengah lapangan, memantulkannya berulang-ulang kali. Tatapannya tertuju lurus pada ring basket yang bertengger tegak beberapa meter darinya. Suara Ranu dan Bunga sayup-sayup terdengar di tengah konsenterasinya mendribble bola.

Mengikuti detak jantung, gerakan tangan Cinder semakin cepat dan cepat. Irama napasnya menderu. Detik selanjutnya, tubuh Cinder terayun cepat ke depan, melompat tinggi-tinggi dan memasukkan bola dengan kedua tangan dan tubuh menggelantung berpegangan pada ring bola.

Suara riuh tepuk tangan Ranu, Bunga dan beberapa adik kelas mengiringi senyum kepuasan Cinder begitu menjejakkan kaki ke tanah. Cinder membalasnya dengan sunggingan senyum tipis dari sudut bibirnya dan menerima lemparan handuk kecil yang berikan Bunga.

"Nice lay up, Cinder!" seru Bunga semangat. Sahabatnya itu sibuk mengipasi diri dengan kipas bergambar salah satu anggota boyband asal negeri ginseng. Bunga pernah dengan histeris menceritakannya pada Cinder dan Ranu saat makan di kantin. Kalau tidak salah ingat, Bunga menyebutnya Kai, Lay, atau Jay. Well, siapalah nama anggota itu, Cinder juga tidak terlalu perduli.

Cinder berjalan ke arah Ranu dan Bunga, mendudukkan diri di depan kedua sahabatnya itu dan meneguk minumnya sampai habis. Dari ekor mata, ia melihat Ranu menatapnya lurus.

"What's wrong? Kenapa ngelitin gue kayak gitu? Ada yang aneh di muka gue?" tanya Cinder, mengelap sisa air di sekitar bibirnya.

Ranu mendengus angin lalu menggeleng. "Nothing. Cuma... lo mau sampe kapan di sekolah? Sampae malem? Bentar lagi gerbang ditutup," katanya, mengingatkan.

"Kecuali kalo lo mau gantiin tugas penjaga sekolah sih, nggak masalah juga," sambar Bunga.

Cinder mengangguk-angguk dan mengedarkan pandangan. Keadaan sekolah memang mulai sepi tapi setidaknya masih berpenghuni selain dirinya. "Kalo kalian mau balik duluan, balik aja. Gue nggak apa-apa ditinggal. Lagian, Pak Amir juga belum datang."

Kalau saja Papa sudah pulang di jam-jam segini, Cinder juga lebih memilih cepat pulang. Tapi berhubung Papa pasti masih sibuk dengan pekerjaan, malas juga kalau harus pulang cepat. Di rumah juga tidak ada yang bisa ia kerjakan.

"Okay then... gue sama Ranu balik duluan. Lo beneran nggak apa-apa kita tinggal?" tanya Bunga. Sekarang cewek itu sedang memulas bibirnya dengan lipbalm pink yang mengilat.

"Nggak apa-apa," sahut Cinder pendek. Sekilas ia mengerling Ranu dan seolah tahu arti tatapannya, Ranu sengaja menyenggol lengan Bunga yang sedang sibuk memulas bibir.

Bunga memekik kaget dan menjerit histeris. Melihat pantulan wajahnya di kaca bedak membuatnya merengek. Hilang sudah mahakarya lipbalm mengilat di bibirnya, karena sekarang jejak lipbalm itu melenceng jauh sampai mencoret pipi. Wajahnya saat ini persis badut ancol.

CINDER - ELLAWhere stories live. Discover now