Part 24 - Sebuah Rasa (bagian A)

25.8K 2.5K 42
                                    


            Hampir setiap menit Kafka melirik ke samping, memerhatikan Ella yang duduk dengan gelisah. Kedua tangan anak perempuan itu saling menggenggam dengan gemetar dan tatapannya terpancang pada pemandangan di luar kaca mobil tanpa tahu fokus. Sesekali, anak perempuan itu memainkan telepon genggamnya, menghubungi seseorang, tetapi kemudian berakhir dengan decakan kesal. Entah siapa yang dia hubungi, tetapi berhasil membuat Kafka melirik penasaran.

"Siapa yang lo telepon?" tanya Kafka akhirnya. Mendadak saja ingin tahu.

Ella meliriknya, lalu bergumam pelan. "Papa. Dari tadi hapenya nggak aktif."

Kafka mengangguk-angguk. "Mungkin bokap lo lagi sibuk. Atau lagi di jalan," hiburnya. Entah kenapa dia tidak suka melihat ekspresi gelisah Ella.

Ella hanya mengangguk pelan sambil mengucapkan terima kasih dan kembali memainkan ponselnya dalam diam. Lebih dari sepuluh kali dia menghubungi Papa, tetapi nomor Papa tidak aktif. Lalu dia mendial nomor Cinder, tapi lagi-lagi tidak ada jawaban. "Kamu ke mana sih, Cinder...," gumamnya, nyaris berbisik sambil menghubungi Cinder, lagi dan lagi. Tetapi hasilnya tetap sama.

Di samping kanan, Kafka memerhatikannya lagi. Lalu, seolah bisa membaca kegelisahan Ella, Kafka menepuk pelan pundak sopir pribadinya. "Pak, tolong ngebut sedikit. Temen saya lagi buru-buru," titahnya pada lelaki di belakang kemudi yang fokus memerhatikan jalanan yang lumayan padat.

Sopir itu menggeleng. "Maaf, Mas Kafka, tapi Pak Hadinata ngelarang saya buat kebut-kebutan," jawabnya.

"Saya cuma minta Bapak ngebut sedikit, bukan kebut-kebutan," balas Kafka.

"Tapi saya nggak bisa, Mas, nanti saya dimarahai Bapak."

Kafka berdecak malas. Tepat di hadapannya, lampu lalu lintas berubah merah. Dia buru-buru keluar dan membuka pintu kemudi dengan tidak sabar. "Saya lupa ada buku yang ketinggalan di sekolah. Tolong Bapak ambilin. Ini mobil biar saya yang bawa," perintahnya sambil mengangsurkan dua lembar uang seratus ribuan.

Sopir itu tergagap. "Ta-tapi, Mas, Mas Kafka nggak boleh bawa mobil, belum punya SIM, nanti saya kena marah Bapak. Saya nggak mau dipecat, Mas."

Kafka menggeleng. "Papa nggak bakal pecat Pak Jamal. Nanti saya yang ngomong sama Papa dan saya nggak bakal kebut-kebutan. Sekarang Bapak keluar. Saya buru-buru."

Sopir itu menatap Kafka lama. Dia tidak punya pilihan lain. Bagaimana pun, anak lelaki di hadapannya itu tetap saja majikannya. Lalu, dengan berat hati, dia keluar dari mobil.

"Bapak nggak usah takut. Saya yang bakal tanggung jawab sama Papa. Mendingan sekarang Bapak pulang, nggak usah ambilin buku saya di sekolah," ucap Kafka, mengambil alih kemudi dan membiarkan Pak Jamal melenggang terburu ke pinggir jalan. Lalu, tatapannya beralih pada Ella yang masih menatap kepergian Pak Jamal dengan tampang bersalah.

"Ngapain lo masih di situ? Pindah ke depan. Gue bukan sopir."

Ella terlonjak, lalu buru-buru pindah ke kursi samping kemudi tanpa membantah. Matanya terus memerhatikan Pak Jamal yang berjalan buru-buru ke arah trotoar.

"Nggak usah mikirin supir gue, pake aja seat belt lo. Dia udah biasa gue turunin di tengah jalan," ucap Kafka, seolah memahami tatapan bersalah Ella.

"Tapi, Ka, gimana kalau..."

"Lo mau cepet sampe rumah nyokap lo, kan? Jadi mendingan lo diem dan pegangan," potong Kafka, gemas. Tepat saat Ella selesai memakai sabuk pengaman, lampu lalu lintas berubah hijau. Kafka langsung tancap gas tanpa basa-basi.

CINDER - ELLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang