Part 38 - Cukup Sampai Di Sini

19.6K 2.4K 135
                                    

            "Loh, Rev, nggak pulang bareng Ella?"

Laras mengerutkan kening saat melihat anak perempuan yang dimaksud melenggang keluar kelas tanpa mengatakan apa pun setelah memasukan beberapa buku ke dalam tas. Cewek itu pergi begitu saja tanpa menunggu Revas seperti biasanya.

Revas menggeleng menanggapi pertanyaan Laras seraya menyampirkan tas di punggung.

Laras mengerutkan kening lagi. "Tumben. Kalian nggak lagi berantem, kan?"

"Nggak, kok," jawab Revas. "Aku... ada urusan lain dan Ella nggak bisa nemenin. Jadi dia pulang duluan," sambungnya, bohong. Revas memang sengaja tidak menawarkan Cinder untuk pulang bersama seperti biasanya. Ia punya sesuatu yang harus dilakukan tanpa cewek itu.

"Terus latihan basket kamu gimana? Besok tanding, kan?"

Revas mengangguk. "Aku pergi habis latihan."

"Mau aku temenin sampai latihan kamu selesai?" tawar Laras.

"Nggak usah, Ras, kamu duluan aja," tolak Revas, tersenyum tipis. "Takutnya latihannya sampai malam."

Laras mengangguk-angguk. "Ya udah kalau gitu aku duluan, ya?"

Revas hanya mengangguk sambil tersenyum. Sampai bayangan Laras benar-benar menghilang di balik pintu kelas, senyum Revas menghilang. Cowok itu menghela napas dalam dan mengembuskannya berat. Rasa bersalah menjalarinya melihat Cinder pulang sendiri, tetapi menemaninya pun Revas tidak bisa. Ada hal yang harus ia lakukan sebelum fokusnya terampok habis untuk pertandingan besok.

-----------------------------------------------

Hari menjelang malam saat Cinder sampai di halte depan SMA Athalea dengan langkah malas. Ia duduk di sana untuk lima belas menit pertama sambil mendekap tas sekolah dengan erat dan menatap gedung sekolahnya penuh rindu.

Cinder rindu Athalea. Rindu main basket. Rindu membolos. Ia juga rindu pada Bunga dan Ranu yang selalu ramai. Rasanya ia mulai lelah berpura-pura menjadi Ella. Ia ingin kembali menjadi dirinya sendiri di hadapan semua orang, ingin mengenyahkan perasaan bersalah sekaligus melelahkan yang menggelayuti dadanya. Terlebih mengingat sikap Revas beberapa hari belakangan. Ia yakin cowok itu punya sesuatu yang disembunyikan. Sekalipun tertawa, tetapi gurat gelisah terlihat jelas di kedua matanya.

Getar di saku seragam membuat Cinder tersentak. Ia merogoh telepon genggam. Ada satu pesan dari Bunga.

'Lo di mana? Perasaan gue nggak enak.'

Tanpa sadar sudut bibir Cinder terangkat tipis. Bersahabat lama membuat ikatan batin terjalin lebih erat disadari.

Untuk sejenak Cinder menatap pesan itu lama-lama, lalu mengembuskan napas. Kepalanya terasa berat dan dadanya sesak. Cinder butuh mengeluarkan isi kepalanya, membaginya, atau ia bisa meledak kapan saja. Tetapi sebelum itu, ia perlu mengungkapkan sesuatu pada dua sahabatnya. Sudah cukup ia memendam semua sendirian, dan sekarang ia ingin membaginya sedikit. Tentang pertukarannya dengan Ella, tentang Revas, juga perasaan ajaibnya.

'Gue di halte depan Athalea. Jemput gue.'

'Nyusahin aja lo.'

Balasan itu membuat Cinder mendengus, namun sedetik kemudian, pesan baru kembali menggetarkan ponselnya.

'Jangan ke mana-mana. Gue otewe sama Ranu.'

CINDER - ELLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang