Part 1 - Ini Cinder dan Kafka

63.5K 4.4K 69
                                    

            Jam di tembok menunjukkan pukul enam lebih empat puluh lima menit ketika terdengar bunyi gedubrak yang kencang, bantingan pintu dan disusul suara langkah kaki cepat-cepat menuruni tangga. Seorang remaja berseragam SMA muncul dari arah tangga dengan langkah tergesa dan penampilan cukup berantakan. Seragamnya belum dimasukkan dan tasnya setengah terbuka. Bahkan ia belum sempat menyisir rambutnya dengan rapi.

Papa memerhatikannya dari meja makan dan menggeleng bosan. Disesapnya kopi yang masih mengepulkan asap tipis. Suasana pagi masih belum berubah, selalu seperti ini; diisi keributan dan keribetan anak gadisnya yang menginjak dewasa. Ternyata mengurus remaja beranjak tujuh belas tahun tidak segampang yang dipikirkan atau yang sering dilihatnya di televisi. Butuh tenaga ekstra, terutama dalam perhatian.

"Are you okay, sweetheart?" tanyanya. Dari ujung gelas kopi, diliriknya anak gadisnya yang melahap roti dengan gigitan besar-besar.

"I'm fine, Papa, as usual!" sahut putrinya dengan mulut penuh roti dan selai, kemudian meminum susu cokelat dengan tergesa sampai meninggalkan bekas di kedua sudut bibirnya.

Papa menggeleng lagi, merapikan penampilannya dan meraup kunci mobil, bergegas menuju parkiran dan membuka pintu untuk anaknya.

"Jangan pake rem ya, Pa. Cinder udah telat banget."

Papa hanya mengangguk dan langsung tancap gas. Sesuai permintaan, Mobilio merah bata yang dikendarainya membelah jalanan ibu kota tanpa rem.

Sesampainya di depan SMA Athalea, Cinder melompat turun dengan sigap. Sebelumnya mencium pipi kanan dan kiri serta punggung tangan ayahnya. "Take care, Papa. I love you."

"Love you more, sweetheart... belajar yang benar. Jangan bolos dan jangan tawuran!" nasihat Papa tersenyum hangat, yang dibalas cengiran lebar Cinder. Lalu, melajukan mobilnya meninggalkan sekolah.

Cinder berlari kencang dan berteriak saat gerbang sekolah sedikit lagi akan ditutup Pak Bayan. Tangannya menggapai-gapai. "Tunggu, Pak!" serunya setengah tersengal setengah memohon. Pak Bayan geleng-geleng kepala dan membiarkan Cinder lewat kemudian menutup rapat pintu gerbang.

Pak Bayan, yang selalu rapi dengan seragam satpam, sudah hapal wajah Cinder. Kebanyakan dari murid laki-laki yang sering datang terlambat, Cinder satu-satunya murid perempuan yang menyelipkan diri. Cinder beralasan kalau bangunnya kesiangan atau ban mobil ayahnya kempes setiap kali Pak Bayan bertanya alasan keterlambatannya.

Begitu sampai di kelas, Cinder mengempaskan dirinya cukup keras, sampai bangku yang didudukinya berderit. Dia duduk di barisan ke dua dari belakang. Beberapa temannya sempat menoleh, tapi ketika tahu bahwa itu ulah Cinder, mereka melengos lagi. Sudah bukan hal yang aneh, pikir mereka. Mendapati Cinder terlambat—berapa kalipun hitungan menitnya—adalah hal biasa. Kalau cewek itu datang lebih pagi atau tepat waktu, baru itu sebuah keajaiban.

Ranu yang duduk di samping Cinder, memerhatikan cewek itu dari bawah sampai atas. Cinder selalu kelihatan berantakan setiap berangkat ke sekolah. Rambutnya terkucir kuda asal dan poninya berantakan. Seragamnya tidak pernah dimasukkan. Lengan seragam putihnya digulung sedikit dan dijepit menggunakan jepitan warna hitam. Tas punggung yang tersampir di bahunya diempaskan begitu saja. Benar-benar kacau.

"Again?" tanya Ranu mengangkat alis. Ekspresinya menunjukkan sekali kebosanan karena Cinder lagi-lagi datang terlambat. Walau hari ini tingkat keterlambatannya masih bisa ditolerir. "Sekarang alasannya apa?"

Cinder tercengir lebar, mengusap keringat tipis di dahi menggunakan dasi yang terpasang miring dan longgar sambil mengipas-ngipas buku tulis yang baru dikeluarkan dari dalam tas. "Masih alasan yang sama," jawabnya, menyeringai tanpa dosa.

CINDER - ELLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang