Part 11 - Angin Sore Revas

33.7K 3.3K 46
                                    

"Kamu mau pulang bareng Revas?"

Pertanyaan Laras menginterupsi gerakan Cinder yang sedang sibuk memasukkan buku-buku pelajarannya ke dalam tas. Cinder menatap Laras sekilas kemudian menggeleng. "Pulang sendiri aja," sahutnya datar.

"Loh, kenapa? Bukannya setiap hari kalian pulang bareng, ya? Kalian nggak lagi berantem, kan?" tanya Laras lagi.

Kening Cinder mengkerut samar, melirik Laras sesaat. Jadi, selama ini Ella selalu pulang bareng cowok itu? batinnya, tapi kemudian menggeleng lagi. "Nggak," jawabnya pendek.

Laras mengangguk sekali, lalu melirik pada Revas yang juga sedang memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. "Kamu mau langsung pulang juga, Rev?" tanyanya.

"Nggak. Aku mau anterin buku tugas kelas kita dulu ke ruang guru," sahut Revas kalem. "Jemputan kamu udah dateng?" tanyanya balik pada Laras, tersenyum penuh arti.

Wajah Laras langsung bersemu, paham betul siapa yang dimaksud Revas dengan 'jemputan kamu', lalu kemudian mengangguk lagi. "Iya. Sori ya nggak bisa bantuin kamu. Nanti Ella aja yang bantuin," katanya, yang disambut anggukan ramah Revas. "La, aku duluan ya. Jangan lupa BBM aku soal PR matematika ya hehehe," sambungnya, lalu keluar kelas.

Cinder hanya bergumam tidak jelas sambil menatap kepergian Laras dengan pandangan datar, lalu ikut menderap menuju pintu. Tetapi kemudian, langkahnya ditahan Revas yang sudah berdiri di sampingnya sambil memeluk tumpukan buku tugas.

"Bisa temenin aku ke ruang guru buat anterin buku tugas?" tanya Revas. "Nggak enak nih sendirian."

Sekilas, Cinder menatap tumpukan buku dalam pelukan Revas, lalu menatap cowok itu tanpa minat. "Harus ya gue temenin? Jalan sendiri nggak bisa?" tanyanya skeptis.

Revas tersenyum simpul. "Kalau berdua kan ada temen ngobrol, La," sahut Revas lembut, lalu tanpa permisi memindahkan setengah buku dalam pelukannya ke tangan Cinder dengan sengaja. Meski tidak terlalu banyak, tapi aksi Revas membuat Cinder refleks bergerak cepat menerima, meski nyaris membuat buku-buku itu jatuh, lalu mengumpat Revas pelan.

"Heh, kan gue udah bilang-"

"Cuma sebentar, La. Ayo," ajak Revas lagi, meninggalkan Cinder lebih dulu tanpa rasa bersalah. Revas sudah memutuskan, akan bagaimanapun sikap Ella yang baru padanya nanti, Revas akan bersikap seperti biasa.

Meski sempat menggerutu jengkel, tapi akhirnya Cinder mengekori Revas, bagaimana pun ia sedang menjadi Ella. Semakin banyak melakukan penolakan, mungkin Revas bisa curiga.

Dalam langkah pelan, Cinder memandangi punggung cowok itu dari belakang. Dilihat dari fisik, Revas memang memiliki beberapa kelebihan dibanding cowok seusianya. Revas punya postur badan tinggi, walau nggak tegap banget, wajahnya juga oke, masih satu ranah dengan serentetan kata yang bermakna ganteng. Otaknya juga cukup encer dan kelihatan sekali bukan cowok serampangan plus urakan kayak Kafka. Dan satu lagi, Revas itu punya pembawaan yang kalem. Pantas saja Ella menyukai Revas, mereka satu aliran. Tidak aneh kalau Ella sampai menaruh hati pada Revas.

Derap pelan Cinder terhenti seketika saat melihat Revas juga berhenti tepat di depannya. Untung saja refleksnya bagus sehingga tidak sampai menubruk punggung Revas yang menjulang.

Sedetik,Cinder memicing Revas, lalu tatapannya ikut terarah pada titik yang dilihat Revas. Cowok itu sedang melihat Donna yang masih menjalani hukuman-menyapu lapangan upacara sampai bersih kinclong-bersama anak lain yang ketahuan membolos. Cewek itu menyapu dengan gaya kaku dan malas-malasan, ketahuan sekali tidak pernah menggunakan sapu. Di bawah terik matahari sore, wajah Donna kelihatan sekali kecapekan sekaligus dongkol. Sudah bisa ditebak lah siapa sosok yang berhasil membuat Donna menerima hukuman sampai sesore ini.

CINDER - ELLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang