Part 15 - Tawaran Ella

34.3K 2.9K 35
                                    

            "Kafkaaa!!"

Ayunan langkah Kafka terhenti seketika. Tubuhnya berbalik dengan malas dan menemukan senyum sumringah milik Ella. Cewek itu berlari-lari kecil ke arahnya, kemudian berdiri tepat di hadapannya.

"Hai," sapa Ella ceria, lengkap dengan lambaian tangan kecil dan sorot penuh semangat. Rambutnya tersisir rapi dan bergerak seirama tubuhnya.

Wangi manis stroberi seketika meruap, menelusup ligat melewati indera penciuman Kafka dan mengisi rongga pernapasannya dengan cepat, membuatnya langsung berdeham-deham pelan menetralkan diri.

"Selamat pagi," sapa Ella lagi riang. Senyumnya belum menghilang.

Tidak ada sahutan apapun dari Kafka. Cowok itu malah mengambil satu langkah mundur tanpa suara dan menjejalkan kedua tangannya ke dalam saku celana, lalu menatap Ella tanpa ekspresi.

Pagi ini, Ella kelihatan sangat rapi dan segar. Pakaiannya licin dan dasinya terpasang benar. Pipinya agak merona dan kedua sudut bibirnya tak lelah membentuk senyum cerah. Rambut panjangnya yang tergerai indah, dipagari bandana berwarna merah muda yang diberi jepit hitam di bagian tepi. Warnanya selaras dengan jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya yang kecil, membuatnya seperti tokoh perempuan di dalam film kartun Jepang yang hidup dan bergerak.

Untuk sesaat, Kafka sempat dibuat terdiam memerhatikan. Ucapan Garry beberapa hari lalu tentang Cinder, terngiang di kepala. Garry benar. Akhir-akhir ini, Cinder selalu kelihatan rapi. Cewek itu juga sudah tidak datang terlambat lagi.

Tapi, reaksi Kafka hanya bertahan sebentar. Karena selanjutnya, cowok itu kembali menyuguhkan tatapan khas orang bangun tidur; malas dan tanpa minat. Dia sedang tidak bersemangat melakukan apapun, moodnya sedang kurang bagus, jadi sebaiknya jangan diganggu. Kejadian kemarin masih menyisakan kekesalan tersendiri, ditambah mengingat hukuman yang diterimanya akibat puntung dan bungkus rokok sialan itu. Rasanya ingin sekali ia menerjunkan diri ke dalam laut tanpa ingat permukaan. Ah, kalau saja Bi Karti tidak memaksanya masuk sekolah hari ini, dia pasti sudah membenamkan seluruh badannya di atas tempat tidur sampai besok pagi. Itu lebih menyenangkan.

Detik selanjutnya, satu alis Kafka perlahan-lahan terangkat tinggi, menatap Ella yang hanya tersenyum ceria di hadapannya tanpa mengeluarkan suara. Entah apa yang baru saja menimpa cewek itu, tapi senyumnya berhasil membuat perutnya mendadak berdisko.

"Apa?" tanya Kafka kemudian, dengan nada datar.

Ella menggeleng penuh semangat. "Nggak apa-apa. Senang aja lihat kamu masuk hari ini. Nggak jadi diskorsing, ya?" tanyanya senang.

Kening Kafka berlipat tipis di tengah alisnya yang terangkat tinggi. Sejenak, tatapannya menyapu Ella dari ujung kaki sampai kepala, lalu menarik sudut bibirnya dengan sinis. "Kenapa? Kecewa karena gue nggak jadi diskors?" tanyanya skeptis, masih dengan senyum menyebalkan. "Sori bikin lo kecewa," sambungnya ketus.

Senyum Ella langsung menghilang. Sudut bibirnya terangkat sebal. "Kamu tuh ketus banget, ya. Aku kan tanya baik-baik. Bisa nggak sih, nggak judes begitu?" protesnya misuh-misuh.

Kafka hanya mengedik bahu pelan tanpa menyahut, lalu berbalik cepat dan kembali melangkah santai meninggalkan Ella.

Ella mendesis gemas menatap punggung kurus Kafka yang perlahan menjauh, lalu pelan-pelan menyusulnya. Kemarin, cowok itu tidak mengikuti pelajaran sampai habis. Setelah keluar dari ruang BP, Kafka hanya sebentar masuk kelas, mengambil tas, kemudian keluar. Pulang. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya, bahkan ketika Garry dan Aldo bertanya, Kafka hanya mengedik bahu. Memang ekspresinya masih datar, tapi setiap murid juga tahu, kalau tidak mungkin meninggalkan ruang BP begitu saja tanpa adanya hukuman.

CINDER - ELLAWhere stories live. Discover now