Part 26 - Seolah Belum Cukup

25.3K 2.4K 62
                                    

Yup, saya tau, fiksi ini sudah cukup lama saya diamkan. So, enjoy!

Happy readingggggg ^^

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Langkah lebar Kafka menuju kelas terhenti seketika saat melihat Cinder melangkah malas melewati gerbang sekolah. Anak perempuan itu berjalan pelan sambil memegangi tali tas dengan malas-malasan. Satu telinganya tersumbat earphone bervolume tinggi. Hari ini Cinder berpenampilan seperti dulu; rambutnya diikat satu serupa ekor kuda dan seragamnya tidak diselipkan dengan rapi. Bahkan sepasang tungkainya seperti tidak mengenakan kaus kaki.

Kening Kafka berkerut dalam, tatapannya menyipit tajam. Sejenak, ia melirik jam di tangan dan alisnya terangkat tinggi. Jarum panjang menuding angka sebelas dan jarum pendek di angka tujuh. Seharusnya, cewek itu sudah duduk manis di kelas, seperti beberapa minggu belakangan. Bukannya malah berjalan santai tanpa takut ditegur guru piket dan berlagak seperti sekolah milik sendiri.

Penasaran, Kafka berjalan mendekat, menjajari langkah Cinder, ingin tahu akan seperti apa reaksi Cinder. Anak perempuan itu praktis meliriknya, tapi tidak ada sapaan dan senyum seperti sebelumnya, yang ada malah kerlingan sambil lalu yang tidak ramah sama sekali. Cinder menatapnya malas dengan sebelah alis terangkat, lalu gegas memasuki kelas tanpa mengucapkan apa-apa, seolah Kafka tidak ada di sampingnya.

Sesaat Kafka melongo, keningnya berkerut lagi. Dia menatap punggung Cinder yang mulai hilang di balik pintu kelas. Ada yang aneh, pikirnya. Cewek itu kelihatan lebih tenang dan diam daripada kemarin. Cara berjalannya pun normal-normal saja. Kakinya tidak kelihatan terluka walau jelas-jelas kemarin jalannya masih terpincang.

"Kafka, cepat masuk kelas!"

Seruan guru piket memaksa Kafka mempercepat langkah. Dia berlari kecil memasuki kelas dan langkahnya terhenti lagi. Di depan meja Cinder, Didot berdiri gemetar sambil membenahi letak kacamata dengan gugup. Anak lelaki itu menatap Cinder takut-takut sambil mendekap buku catatan.

"A-aku... mau minta ajarin Fisika, Cinder," ucap Didot dengan suara bergetar.

Satu alis Cinder terangkat tinggi. Dia menatap Didot tanpa minat. "Ajarin Fisika? Lo nggak salah minta ajarin sama gue?" balas Cinder.

Didot menggeleng. "Ke-kemarin... kamu udah janji mau ajarin aku Fisika...."

Cinder mengerling Ranu dan Bunga, dan kedua sahabatnya itu mengangguk kompak.

"Lo yang janji sendiri kemarin," ujar Bunga.

Ranu mengangguk setuju. "Gue saksinya," katanya, menambahkan.

Cinder mengembuskan napas berat. Pasti kerjaan Ella, pikirnya. "Gue lagi nggak mood belajar. Nanti aja gue ajarin lo Fisikanya, oke?" ujarnya.

Lagi, Didot membenahi letak kacamata. "Ta-tapi, Cinder..."

Didot tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Cinder menatapnya dengan tatapan malas yang menyebalkan, seolah menjelaskan bahwa dia benar-benar sedang tidak ingin diganggu.

Kafka buru-buru mendekat, menepuk pelan pundak Didot. "Si Cinder lagi kumat gilanya. Lo nurut aja daripada kena semprot," penggalnya.

Didot menatap Kafka, lalu Cinder bergantian, kemudian mengangguk dan berlalu ke tempat duduknya dengan ekspresi kecewa.

CINDER - ELLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang