Sepuluh

8K 545 129
                                    

Kalau aku bandingkan antara dadanya Mahesa dan kasur empuk di kamarku. Mana yang paling nyaman. Aku dengan gilanya akan menjawab dadanya Mahesa.

Kenapa?

Karena akupun tidak tahu. Makanya itu, aku namakan jawaban gila. Karena tidak ada alasan yang membuat dada laki - laki itu begitu nyaman. Intinya kalau aku bersandar padanya mataku ngantuk dan akal sehatku hilang entah kemana.

"Beby..."

Lirih Mahesa. Ia masih memelukku hangat. Kadang aku tidak mengerti. Karena setiap aku merasa sedih atau membutuhkan apapun. Dia selalu ada.

"Kangen banget ya sama aku?"

Godanya. Aku terdiam, alasannya karena mataku masih basah. Dan kakiku sangat sakit. Aku meringis, namun mencoba untuk mundur dari jarak kami yang terlalu menempel ini.

Arrgghhh!

"Kenapa?!"

Mahesa meraih ku kembali. "Kaki kamu kenapa?" Mahesa berjongkok untuk melihatnya.

"Ini bengkak Shayaaaa ... Kenapa kamu ceroboh sekali!"

Dia mulai menceramahi aku dengan bahasa me-nyebalkannya. Dia berkata kalau kaki itu harus di jaga hati - hati. Karena tanpa kaki. Kita tidak akan bisa menikmati indahnya dunia, tanpa kaki kita tidak akan bisa mengalahkan dunia yang kejam, tanpa kaki kita tidak akan bisa mengalahkan kesombongan dunia. Tanpa kaki kita, bla ... Bla ... Aku sangat jengah mendengarnya. Pokoknya intinya tentang dunia semua. Aku tidak tahu kenapa ia sangat ingin mengalahkan dunia. Mungkin ia berpikir, dengan memiliki dunia. Ia akan menguasai apapun. Termasuk memenuhi nafsu liarnya terhadap para gadis.

Dasar sialan!

"Paham kamu Shaya?"

Dia itu kenapa sih? Kaki aku yang bengkak. Malah dia yang lebih repot. Seolah kaki aku ini adalah separuh jiwa nya yang terluka. Lihat saja wajahnya yang begitu cemas. Dan caranya memperhatikanku. Malah dia dengan perlahan mengangkat diriku. Seolah aku ini adalah barang antik yang takut pecah.

"Aku enggak apa - apa Mahesa."

Aku melingkarkan kedua lenganku di lehernya. Dan cuma ditanggapi dengan tatapan tajam saja. Agar aku tidak protes.

"Bisa enggak sih kamu jaga diri kamu kalau jauh dari aku?"

Dia kembali mengomel. Padahal sekarang kami sedang di koridor kantor. Ya ampuuunnnn, aku sangat malu. Apa lagi ada beberapa karyawan yang sedang berlalu lalang di sana. Mampus! Besok aku akan di serang oleh pertanyaan absurd Eldrick dan Sonya.

Mahesa membawaku ke sebuah Rumah sakit. Aku rasa dia sangat keterlaluan. Kakiku ini hanya terkilir sedikit tidak perlu harus pergi ke Rumah sakit segala. Tapi dasar si keras kepala itu. Ia memaksa Dokter yang sedang praktek. Lalu menyuruh mereka untuk memeriksa kakiku. Pake embel - embel takut cidera tulang segala lagi. Oh, ya ampun. Aku sangat malu.

Dan pada akhirnya Dokter cuma memijat kakiku sedikit diputar. Awalnya sakit, namun beberapa menit kemudian rasa sakitnya hilang. Hingga kakiku bisa di gunakan seperti biasanya.

"Bagaimana aku bisa percaya sama kamu. Kalau kita jauh dikit aja kamu sudah cidera kaya gini!"

Aku hanya diam saja. Kepalaku masih pusing karena pertengkaran ku dengan Kavindra. Rasanya sesek banget. Sampai buat napas aja aku meski susah payah. Karena setiap kali aku mau napas. Air mataku juga hampir keluar.

"Sebenarnya apa yang kamu pikirin, Shaya? Kenapa jalan sampe terkilir gitu?"

Dia bawel banget. Aku kesal, lalu aku pergi ke kamarku. Mahesa memang membawaku langsung pulang setelah dari rumah sakit.

Unimaginable (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang