Chapter 6

4.8K 184 1
                                    

 Kakak mengajakku ke taman belakang sekolah. Suasananya sunyi senyap. Seperti di kuburan saja, tapi bedanya kalau di sini ada kesan romantisnya, begitulah menurutku. "Maaf membawamu kemari," ucap kakak "Pasti sakit bukan? Pipimu merah sekali," lanjut kakak lalu menyentuh pipi kiriku dengan pelan.

Aku meringis. Rasanya masih perih dan sedikit panas. Kakak langsung mengambil sapu tangannya lalu meneteskan air minum dari botol minumnya.

"Bagaimana? Lebih dingin bukan?" Aku mengangguk. Walaupun bukan es batu, tetapi setidaknya pipiku bisa lebih dingin dari pada sebelumnya.

"Tak apa selama itu bisa membuat kakak tenang aku rela berkorban sekali pun itu mempertaruhkan nyawa" ucapku sambil menatap kakak dengan tatapan hangat.

"Terkadang aku suka bingung kenapa kau tidak mencari pacar? Padahal wajahmu itu kan cantik lalu tubuhmu juga lumayan bagus kalau tinggi ya begitulah. Agak pendek..hehe" ucap kakak. Aku gugup harus bilang apa pada kakak. Apa aku harus jujur pada kakak, bahwa aku menyukainya.

Jantungku mulai berdetak tidak karuan. Belum lagi dadaku makin sesak. Aku takut. Jika aku jujur yang ada nantinya kakak akan menganggapku aneh dan kemungkinan terburuknya, ia pergi menjauh dariku. Masa iya seorang adik menyukai kakak kandungnya sendiri? Oh yang benar saja?! Itu suatu hal yang tak lazim.

"Laut..." panggil kakak menyadarkanku dari pikiranku ini. "I-iya?" jawabku

"kau ini...melamun ya?" tanya kakak

"Eh? E-enggak kok" belaku

"Laut..kau belum menjawab pertanyaan kakak yang tadi" ucap kakak.

"E-em..aku..itu...em..aku.."

TENG TENG TENG

Untunglah aku tertolong. "Ayo pulang" ajak kakak. Aku kembali ke kelas untuk mengambil tas dan segala keperluanku. Kelas sudah sepi sekitar sepuluh menit yang lalu. Tak tersisa tanda-tanda kehidupan di tempat ini.

"Sudah selesai?" tanya kakak yang membuatku kaget. Tapi setelah itu aku mengangguk.

Di perjalanan hanya diisi dengan kesunyian. Tiba-tiba dadaku sesak bukan main. Rasanya seperti seluruh nafasku di tarik dengan paksa. Aku jatuh terduduk di tengah kerumunan orang yang sedang berlalu lalang. Kakak sudah jalan terlebih dahulu. Aku hanya bisa melihat kakak dari jauh dan semakin menjauh. Tapi aku masih bisa melihat kakak berlari ke arahku.

"Laut! Laut! Ada apa denganmu? Laut! Ayo bangun! Laut! Hei sadarlah ini bukan saatnya main-main hei!" teriak kakak sambil memukul pelan pipiku. Ah sakit. Semakin lama aku makin tak mendengar apa yang di katakan kakak.

Gelap. Aku tak bisa melihat apa pun. Apa ini sudah waktuku? Apa aku sudah hidup di alam yang lain? Tidak. Aku belum ingin. Aku masih mau melihat kakak, aku masih ingin merasakan masa remajaku, aku masih belum mengutarakan perasaanku pada kakak.

Bisa kudengar dengung keramaian orang yang berteriak minta tolong, menangis dengan pilu. Bau obat-obatan menguar dari tempat ini. Tak salah lagi, ini rumah sakit. Syukurlah aku belum mati. Dengan perlahan aku membuka mataku, rasanya berat sekali seperti tertempel oleh lem. "Laut? Kau sudah sadar?" tanya kakak. Pendengaranku masih samar samar. Perlahan tapi pasti nyawaku mulai terkumpul kembali menjadi satu. "Baguslah akhirnya kau sadar juga kau tahu aku hampir mati berdiri tadi karena panik melihatmu tak sadarkan diri begitu." ucap kakak

Aku jadi merasa bersalah pada kakak. Ini semua karena penyakit sialan yang kuderita ini. Seandainya saat itu aku tak ikut ke tempat itu pasti aku masih normal seperti gadis yang lainnya. Tapi tunggu, menyebut nyebut soal penyakit, apa kakak tahu tentang penyakitku. Mudah-mudahan kakak tidak diberi tahu deh.

"Kak kata dokter aku kenapa?" tanyaku. Kakak menghela nafas mendengar pertanyaanku. Yaampun aku jadi deg-degan dengan jawaban kakak selanjutnya. "Kau, hanya kelelahan" jawab kakak.

Untunglah kakak belum tahu apa-apa. "Laut, jika kau lelah bolos sekolah saja ralat maksudku istirahat di rumah dan untuk urusan surat nanti biar kakak saja yang urus." sekarang giliran aku yang menghela nafas "Aku enggak kenapa-kenapa kok kak! aku baik-baik aja lagipula mungkin emang tugas kemarin aja yang terlalu banyak dan membuat Laut jadi pusing mikirin-nya." sangkalku.

"Aku tahu kau ini keras kepala, tapi tak ada salahnya kau lebih memperhatikan kesehatanmu dulu Laut. Lagipula kalau sampai kau sakit yang repotkan kau juga nantinya tidak bisa mengejar materi." ucap kakak

"Iya-iya aku tahu kok kak tapi beneran deh, aku gak kenapa-kenapa. Terus kalau seandainya aku udah enggak sanggup pasti aku bakal nyerah deh enggak bakal maksain diri aku juga kak." ucapku "Ya terserah kamu deh pokoknya mau gimana pokoknya yang jelas jangan sampe kayak gini lagi ya! Jangan pingsan lagi jangan bikin kakak hampir mati bediri lagi." ucap kakak

"Siap kapten!" ucapku sambil hormat ke arah kakak. Kami tertawa bersama setelah itu. Aku senang kakak masih benar benar pedli padaku. Kakak masih perhatian padaku. Apa penyakitku ini harus kambuh dulu baru kakak bersikap seperti ini?

Miris, memang.

COMPLICATEDWhere stories live. Discover now