Kado Untuk Yang Tersayang (2)

437 40 37
                                    

"Aku gak mau jadi orang yang menjadi pusat perhatian. Aku cuma pengen jadi orang biasa. Aku mau jadi orang yang kuat, orang yang bisa ngejaga diri sendiri dan orang yang aku sayangi. Itu alasannya aku berlatih setiap harinya, belajar ilmu bela diri." Vino tersenyum tipis sebelum melanjutkan ceritanya.

"Kata orang, menyimpan dendam itu gak baik. Tapi bagi aku, tergantung bagaimana kita membalasnya aja. Aku punya dendam yang selama ini masih tersimpan rapi di dalam sini" ucap Vino lalu menunjuk dadanya.

"Aku gak mau lemah, aku gak mau jadi bodoh. Aku pengen hidup dengan baik dengan cara aku sendiri" Vino menoleh, matanya langsung bertatapan dengan mata indah milik Nadse.

"Kamu mau tau rahasia aku?" Nadse mengangguk pelan, matanya tak lepas dari mata tajam Vino.

Vino tiba-tiba saja berbalik memunggungi Nadse. Ia membuka kaosnya agar Nadse bisa melihat setiap tanda kebencian yang ditinggalkan oleh kedua orangtuanya.

"Vin.." Nadse menutup mulutnya dengan sebelah tangannya.

Begitu banyak bekas luka di tubuh Vino.
"Udah sembuh, tapi bekasnya gak bisa ilang" Vino kembali berbalik ke posisi semula, yaitu menghadap pada kolam renang, sambil memakai kembali kaosnya.

"Vin, perut kamu.." Nadse tidak sengaja melihat perut samping Vino yang terlihat seperti bekas jahitan.

"Oh, itu. Dulu Ayahku marah besar karena aku gak mau ngejual obat-obatan terlarang itu. Dan akhirnya dia nusuk aku pake pisau lipat yang selalu dia simpen di jaketnya. Beruntung aku ditolongin sama temen yang sebelumnya udah aku suruh dateng untuk jemput aku. Ayah lari saat temen aku datang. Temen aku mau ngelaporin Ayah ke polisi, tapi aku ngelarang. Aku gak mau orangtua aku di penjara" Nadse tidak percaya ternyata ada orangtua yang tega seperti itu pada anaknya.

"Kenapa lo gak mau? Bukannya kerja gitu bisa cepet kaya ya?" Vino terkekeh mendengar pertanyaan Nadse.

"Kalau kamu ada diposisi aku, emang kamu mau lakuin?" Nadse menggeleng.

"Emang bener, kerjaan itu sangat menguntungkan. Tapi, aku ngerusak kehidupan banyak orang. Aku bakal hidup diatas kehancuran orang lain, dan aku gak mau kayak gitu. Bayangin kalau anak-anak mudanya pada ngobat. Hidup gak akan seru, gak akan ada persaingan yang sehat. Kita gak tau masa depan gimana, bisa aja yang aku rusak itu adalah calon pemimpin negara ini, atau bakal jadi orang hebat lainnya." Nadse benar-benar dibuat kagum dengan cara berfikir Vino.

"Aku gak bisa tidur di malam hari, mungkin karena dulu sewaktu kecil, hampir di setiap malam saat aku lagi tidur. Ayah datang dan mukulin aku sampai di puas atau sampai dia lelah sendiri. Ibu gak ngebela aku sama sekali, karena ibu pun kadang sama kayak Ayah. Aku pernah nanya ke Ibu, kenapa aku dibiarin gini? Dan Ibu bilang, yang terpenting, bukan dia yang dipukul Ayah. Lagipula, aku juga bukan anaknya. Sejak saat itu, aku usaha untuk jadi lebih kuat dari Ayah. Bukan untuk membalas semuanya, tapi hanya untuk membela diri." Nadse semakin tertarik untuk mengetahui lebih jauh lagi tentang Vino.

"Terus, kenapa lo mau jadi supir? Sedangkan lo bisa kerja di tempat yang lebih baik dan dapat gaji yang lebih gede" Tanya Nadse.

"Aku gak tau. Waktu itu, aku ketemu sama Papa kamu di salah satu cafe. Saat itu, aku gak sengaja denger semua keluhan dia sama seseorang di telfon tentang kamu. Dan pengen kamu berubah, dan dia ngomong mau nyari supir pribadi. Entah kenapa, aku langsung nyamperin saat Papa kamu selesai bicara di telfon. Padahal, aku ke cafe itu untuk mutusin nerima atau gak tawaran jadi dosen di kampus tempat kamu kuliah" Nadse membulatkan matanya tak percaya. Kenapa Vino selalu saja mengejutkan dirinya dengan semua ceritanya.

Vino melihat kearah jam tangannya, dan hampir satu jam lebih mereka sudah duduk disana.
"Maaf Non, Saya jadi bikin Non Nadse gak tidur. Besok Non Nadse ada kuliah pagi kan?" Nadse menatap malas pada Vino.

OneshotМесто, где живут истории. Откройте их для себя