15. Aku Melela Kepada Temanku

1.4K 118 22
                                    

Jadi mau tanya duluuu....Melela atau coming out itu perlu nggak sih kalau menurut kamu?

Jawab ya, sebelum baca. Hihihi.

Kalau udah, selamat membaca!

Hati-hati bintitan.

[]

Aku nggak banyak tahu dengan apa yang sudah diobrolkan antara Hasna dan Mas Bayu. Toh, kalau memang Mas Bayu belum mau cerita, aku pun tidak akan mengusik. Lebih baik nunggu dia cerita sendiri. Toh, pacarku ini emang kadang banyak omong, sih. Aku aja yang pendiem.

Termasuk diduain juga diem, ya?

Nggak diduain juga, sih. Karena emang antara Mas Bayu dan Hasna pun aku nggak jelas mereka akan kayak apa. Aku juga cuman diceritain kalau Hasna yang deketin Mas Bayu.

"Aku juga nggak tahu. Kalau dia jodohku, ya, gimana lagi?"

"Terus aku gimana?"

Mas Bayu menghembus napas panjang. "Kita jalani aja ya, Nong. Aku pengen hubungan kita bakal lama."

Aku nggak memungkiri ada cekit-cekit di dada kiri. Nggak tahu kenapa bisa gitu, tapi aku merasa sedih aja. Sedih aja gitu. Entah harus sedih karena nggak bisa sekali ini aja punya pacar buat waktu yang lama.

Impian pacaranku emang pengen punya satuuu aja yang bakal lama. Itu, sih. Dan aku juga ngelihat dari orangtuaku sendiri pun mereka nggak kebanyakan mengumbar kata mesra atau sayang. Aku pun juga. Toh, aku kalau udah sayang sama seseorang ya udah. Menerima apapun keadaan yang ada. Layaknya janji pernikahan.

Tuh, kan. Pernikahan.

Kalau ditanya pingin nikah, ya aku pingin juga. Entah nikah sama siapa entar, tapi punya pasangan itu lebih bikin hidup nyaman. Kayak ada seseorang yang ada buat kamu di kala kamu senang dan sedih. Hidup berdua bersama-sama. Saling mendukung dan percaya satu sama lain.

Dan aku masih bertahan karena berharap hal seperti ini aku bisa dapet dari Mas Bayu. Ketika aku melihat ke usia dari pacarku ini, usia hendak menyentuh kepala tiga memang bisa dikategorikan matang. Jadi emang pikirannya udah nggak kemana-mana. Harusnya.

Mas Bayu, sih, lagi pingin ngajuin pinjaman ke bank buat renovasi warung makan dia. Terus mau tambah modal, sih. Sama beli barang elektronik untuk investasi jangka panjang. Siapa tahu kalau sudah berumah tangga untuk yang kedua kali, dia nggak perlu repot-repot isi rumahnya.

"Kamu apa mau berhenti kerja, terus kamu di rumah. Ngurus rumah tangga kita gitu, Nong?" tawar Mas Bayu.

Aku nggak bisa jawab dan nggak mau jawab. "Yakin kamu bakal hidup berdua sama cowok? Kamu tahu, kan, kalau orangtuamu itu pingin kamu nikah sama cewek lagi. Dan ini Indonesia, lho?"

Mas Bayu mengedik. Dia juga tidak bisa menjawab. "Ya, kalau aku sih mau-mau aja. Tapi, kamu kok serius banget, sih, Nong jadi orang."

Aku tertawa. "Aku realistis."

Itu obrolan terakhirku dengan Mas Bayu. Tepat sehari sebelum dia dan Mas Koko hendak terbang ke Malaysia. Hari itu, aku bantu dia packing setelah belanja. Di rumah dia sedang tidak ada orang. Beruntung, memang.

"Aku nggak butuh oleh-oleh, Mas. Yang penting kamu pulang selamat lagi aja aku udah seneng," jawabku ketika mau dibelikan apa di Negeri Jiran.

Aku nggak suka dibeli-beliin makanan, sih. Barang apalagi. Kalau dia ke Malaysia dan cuman beliin aku gantungan kunci ya sama aja, sih. Aku terima tapi ujung-ujungnya aku nggak gunain. Sayang juga kalau hilang. Aku kan orangnya ceroboh.

Pernah suatu ketika aku kehilangan kunci lemari di hotel yang kita inapin. Dengan gantungan boneka monyet, dia paginya hilang. Dan aku mau balik ke hotel kok ya malu.

Love Me HarderWhere stories live. Discover now