|22| Lalu, siapa yang munafik?

3.6K 231 8
                                    

Jantung Alvira berdebar kencang begitu berada di depan kelas Alvaro. Suasana koridor memang cukup sepi dikarenakan bel pulang sudah berbunyi kurang lebih sepuluh menit yang lalu. Dan detik ini, Alvira memberanikan diri untuk memberitahu bahwa Alvaro dan dirinya diminta  sesegera mungkin ke ruang OSIS.

Jangan tanya lagi di mana, di sana. Di pojok kelas, Alvaro tengah bermain game online bareng bersama Bintang. Dua remaja itu tak sadar akan kehadiran Alvira di tengah-tengah mereka. Masing-masing sibuk menyelamatkan hero-nya.

Alvira pun memutuskan untuk berdehem, lantas keduanya menoleh secara otomatis. Bintang kembali lagi menatap layar ponselnya, tapi berbeda dengan Alvaro. Lelaki itu masih menunggu bibir mungil Alvira menjelaskan.

"Di-disuruh ke ru-ruang OSIS," ucap Alvira tergagap-gagap. Saking kakunya, gadis itu berpura-pura mengakihkan pandangan.

Berbeda, satu kata yang dirasa Alvira saat ini. Di hadapannya bukan lagi Alvaro yang ia kenal, ini semua pasti karena perjanjian itu! Alvaro telah me-unfriend dirinya di dunia nyata. Tempat di mana Alvira sekarang tidak hidup, merasakan arti dicampakan.

"Ayo bareng!" ajak Alvaro seraya bangkit, membuat dua sahabatnya menghentikan sejenak kegiatannya.

"Lo mau ke mana? Jam 5 jangan lupa!" seru Bintang spontan.

"Ruang OSIS," jawab Alvaro lalu menarik nafas panjang dan kembali melanjutkan bicaranya, "Iya, nanti gue ke sana."

Setelah menjelaskan, Alvaro segera menyerbu ranselnya di atas meja, memakainya setengah bahu, dan berjalan mendahului Alvira. Bintang nampak tak acuh, Alvira sedikit bernafas lega. Pasalnya, perjanjian itu masih berlaku.

"Masuk!"

Seruan lantang dari arah belakang, yang sukses membuat Alvaro dan Alvira serempak menoleh. Ada Kak Rafael di sana, dengan jabatannya yang sebentar lagi akan kandas.

Alvaro langsung ber-high five ria ala lelaki, sedangkan Alvira justru mengingat momen kemarin. Sarapan bareng di kompleks perumahan Rahma. Memori manis yang berujung kebaperan sampai sekarang. Sebut saja kemarin nama buburnya, bubur cinta.

"Kalau udah jadi ketos, jangan terlambat gini ya, awas lo!"

Alvaro terkekeh mendengar ancaman teman futsal dulunya itu. Biar mengancam, tetap saja Alvaro sama sekali tidak takut. Toh belum tentu juga dirinya terpilih menjadi ketua OSIS baru.

"Ayo masuk!" Rafael mendorong pelan bahu Alvira yang sedari tadi diam, hingga gadis itu melonjak kaget. Alvaro yang menyaksikan belajar untuk tidak peduli, lambat laun laki-laki itu yakin bisa melupakan Alvira.

Ruangan yang tadinya lumayan berisik, kini mendadak hening bagai kuburan. Beberapa pasang dari mereka menatap Alvaro dan Alvira yang baru datang dengan intens.

"Kok telat sih, kak?" celetuk seorang siswi.

"Ada sedikit urusan tadi." Rafael menyahut sambil menyusun visi-misi yang terpilih di tangannya.

Hening lagi, detik-detik pengumuman siapa yang terpilih. Alvira merapalkan doa, dan berusaha menetralkan detak jantungnya. Ia melirik sekilas Alvaro yang nampak tenang, biasa saja.

"Kandidat yang terpilih adalah...."

Jeng jeng jeng

"Mahesa dan Putri, serta Alvaro dan Alvira!"

Gemuruh tepuk tangan menghiasi penuh ruangan OSIS. Mahesa dan Putri segera bangkit tanpa diminta, dan membungkukkan badannya secara bersamaan.

Sementara itu, kandidat kedua yang tak lain tak bukan adalah Alvaro dan Alvira hanya saling tatap. Tak sekompak kandidat pertama, mereka berdua justru terkesan tidak berlebihan.

Ketua PMR vs Kapten Futsal [Completed]Where stories live. Discover now