|20| Hei, mau ke mana?

3.8K 242 19
                                    

Puluhan pasang mata tertuju pada Alvira kala dirinya dituntut untuk presentasi di depan kelas. Alvira sedikit jengah, ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Hapalannya seketika buyar dalam sekejap. Selalu begitu.

Di tengah keheningan tersebut, tiba-tiba saja pintu kelas terbuka. Ada seseorang yang menyembulkan kepalanya dari luar, orang yang berhasil membuat jantung Alvira mencelos dari tempatnya.

Orang yang beberapa hari lalu telah menggoreskan luka pada hatinya. Sampai sekarang pun, luka itu masih terasa apalagi kini orang itu ada di ambang pintu. Siapa lagi kalau bukan Alvaro Defetro.

"Cari apa kamu, Alvaro?" tanya Pak Asep seraya merapikan kumis tebalnya, ciri khas guru itu.

Alvaro berjalan menghampiri meja Pak Asep, melewati begitu saja Alvira tanpa ada sapaan yang terlontar. Alvira hanya bisa menelan ludah, menerima keputusan lelaki itu untuk menghindar. Namun, menghindar bukan berarti seolah tidak kenal 'kan?

"Saya mau ngambil buku-buku Bu Ester yang ketinggalan, Pak." Kalimat yang pertama kali keluar saat Alvaro tepat berada di hadapan Pak Asep. 

Pak Asep menyerahkan barang yang dipinta Alvaro lalu mengode lelaki itu untuk segera keluar, secara tidak langsung mengusir Alvaro dari pandangan Alvira. Kepergiannya sama sekali tak meninggalkan jejak, sebatas senyuman pun tidak.

Hei, mau ke mana?

Hati Alvira menjerit sakit, katakanlah dia egois. Mementingkan diri sendiri tanpa memperhatikan kondisi sekitar. Alvira yakin, tombak awalnya kaputusan konyol Alvaro adalah masa bodonya dia akan hubungan antara Rahma, Rafael dan Gilang. Tiga remaja yang terjebak cinta segitiga.

"ALVIRA!" Suara lantang dan menggelegar yang sukses membuat sang empunya nama kaget bukan main. Ia memandang Pak Asep dengan tatapan tanpa arti, ah ralat tatapan kosong.

Pak Asep menarik nafas panjang, lalu menghmebuskan dengan kasar. Menulis sesuatu di buku nilainya, yang pasti atas nama Alvira Aurohma. Alvira tak peduli, berapa pun nilai yang Pak Asep berikan padanya. Mau tuntas ataupun tidak, yang pentung lega sudah maju.

Alvira tak langsung kembali ke tempatnya, hati kecilnya mengajak dirinya ke luar. Lantas gadis itu izin terlebih dulu dan untungnya diperbolehkan dengan alibi 'sudah kebelet' padahal rasa ingin BAK sama sekali tidak ada.

Benar, kata hati tak pernah salah. Di luar masih ada lelaki itu. Alvaro tentunya yang kini asyik menikmati semilir angin di balkon. Bukan, bukan kemauan Alvira untuk mendekat. Namun, sama seperti tadi kata hati kembali menguasai kaki.

"Ha-hai," sapa Alvira canggung dan terbata, bahkan sampai menunduk tak berani menatap manik mata lawan bicaranya.

Alvaro membuka kelopak matanya, merapikan sejenak poninya yang sempat ditiup angin. Tatapan itu nyaris tajam, tinggal diasah sedikit lagi. Canggung tentu saja, hawa yang membuat Alvira tak banyak melakukan aksi.

"Ada apa?" Dua kata yang merujuk pada kalimat pertanyaan mampu mencairkan sedikit suasana. Sedikit saja, sedikit.

Bukannya menyahut, Alvira justru membisu. Bukan karena tak memiliki jawaban, tapi karena bibirnya tak bisa digerakkan. Sulit sekali, sehingga Alvaro harus menunggu cukup lama.

Bukan cukup, tapi terlalu lama, lelaki itu memutuskan untuk berbalik dan melenggang menuju kelasnya.

"Hei, mau ke mana?"

"Pergi."

***

Rahma dan Alvira hanya saling diam, tak ada yang memulai pembicaraan. Hanya terdengar ketukan-ketukan gabut saja yang dilakukan oleh Rahma antara handphone dan meja.

Ketua PMR vs Kapten Futsal [Completed]Where stories live. Discover now