|5|Cuma Temen

6.2K 414 34
                                    

Bintang menghiasi penuh langit Jakarta malam ini, angin berhembus lembut membelai rambut Alvira yang terurai. Mata gadis itu berbinar, mengedar penuh kagum ke hamparan bintang di atas sana. Kelap-kelip memanjakan mata.

"Angin, bawa pergi rinduku. Anjay, gue kok jadi puitis gini," monolog Alvira lalu tersenyum kecil.

Angin menghembus kencang, menerpa keheningan sesudah monolog Alvira tadi. Merasa terpanggil, mungkin. Hanya saja ia mustahil menyahut.

Alvira menutup resleting jaket putih yang dikenakannya, makin lama makin dingin. Malam bertambah larut, tetapi ingat, Jakarta tak pernah tidur. Begitupun dirinya, remaja pengidap insomnia akut. Padahal, waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam.

"Pagi ngantuk, siang lemes, malam insom. Aduh, gue banget," Alvira tertawa miris, penyakit remaja yang mendarah daging.

Drttt....

Getaran ponsel dalam saku jaketnya membuat Alvira spontan merogoh. Matanya memicing begitu membaca nama yang tertera di layar ponselnya itu. Satu nama yang berhasil mencepat detak jantungnya, Alvaro.

"Hallo, Al!"

"I-iya, hai!"

"Lo belum tidur? Besok kan sekolah."

"Insom gue kambuh, lah lo juga belum tidur?"

Alvira menjatuhkan bokongnya ke lantai, duduk bersila dan menenggelamkan telapak tangannya masuk ke jaket agar tak kena angin. Memasuki tengah malam, udara sedang dingin-dinginnya. Ia sampai merinding tak karuan.

"Belum nih, mau tidur tapi lagi telponan sama bidadari."

Terdengar kekehan di sebrang sana, Alvira hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Belajar ngegembel dari mana? Kok gue gak baper ya."

Tak ada sahutan namun Alvira masih setia menempelkan ponselnya ke telinga. Hingga suara tutt ... tutt.... mengakhiri segalanya. Alvira tak ambil pusing, ia memasukkan kembali benda berbentuk pipih tersebut ke saku jaketnya.

Sudah lebih dari satu jam ia menghabiskan waktu di sini, balkon kamar. Menyaksikan bintang bermain dengan bulan, mendengar klakson yang satu menyahut klakson lainnya, melihat lampu-lampu gedung pencakar langit berkedip-kedip. Memang membuat bosan jika dilakukan lama-lama.

Menyaksikan, mendengar, dan melihat tanpa bisa menggapai itu semua.

Drttt....

Ponsel yang terkurung dalam saku itu kembali bergetar. Walaupun bukan anak indigo, tapi Alvira yakin notif tersebut datangnya dari Alvaro. Pasti menelpon lagi, dasar kurang kerjaan. Atau sebatas pelampiasan di kala bosan?

"Al, maaf tadi susah sinyal. Udah setengah 12, tidur gih."

Alvira memutar bola matanya malas, kalau kantuk berpihak padanya sudah daritadi ia tertidur. Bahkan tak perlu merelakan tubuhnya diterpa kedinginan di sini.

"Lo aja sana tidur. Gak baik tidur kurang dari 8 jam, nanti tambah bego."

"Gue nunggu lo tidur dulu, baru gue tidur."

"Guenya gak ngantuk-ngantuk, mending lo duluan tidur."

"Gak mau, gak tenang."

Ini, salah satu alasan mengapa teman rasa pacar lebih baik daripada pacar rasa teman. Salah satu contohnya adalah mereka, Alvaro dan Alvira. Masing-masing memiliki rasa namun lebih memilih untuk berteman, tidak pacaran.

"Jangan khawatir, gue udah biasa kok. Lo gak liat apa kantung mata gue, mirip panda."

"Panda mahal, langka. Makanya hewan yang dilindungi. Lo juga sama."

Ketua PMR vs Kapten Futsal [Completed]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora