23: Kepala Batu

1.3K 128 6
                                    

Assalamualaikum lanjut lagi nih..

Please Vote nya dooooooong!
Jan siders pleaseeee, gakasian sama diriku yg votenya tipis banget, setipis cinta doi padamu muehehe

🌹🌹🌹


Pagi ini aku sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit, meski Arya melarang, aku tak peduli. Yang terpenting diriku bisa melihat Akina, sungguh mendengar penuturan Arya malam kemarin membuatku tak kuasa untuk tidak menangis dan mengkhawatirkan keadaan adiknya itu.

Setelah memarkirkan mobil, segera saja aku meleset ke koridor rumah sakit dan bertanya pada resepsionis di mana ruangan Akina.

"Makan dulu, Dek. Nanti mau minum obat loh." Aku bisa mendengar suara Mamak dari balik pintu. Sepertinya Arya sedang tidak ada di sana lantas kuputar knop dan senyumku terukir kala Akina dan Mamak juga menerbitkan senyum mereka.

Akina melebarkan kedua tangannya padaku dan segera saja kusambut, kami berpelukan dan kuucapkan permintaan maaf padanya.

Dia menggeleng dan menggerakkan tangannya, "Ayuk nggak salah." Seperti itulah yang dia isyaratkan.

"Tapi tetap aja salah Ayuk, Dek. Mamak ... maafin Di ya?" Aku menoleh pada Mamak yang mengusap punggungku.

"Di nggak salah apa-apa kok," kata Mamak.

"Nggak, ini salah Di, Di lupa ngasih tahu kalau nggak ada di rumah. Dek maafin Ayuk ya, Ayuk benar-benar minta maaf."

Akina kembali menggeleng dan tersenyum lalu tangannya kembali ia gerakkann.

"Ayuk mau menyuapi Kina makan?"

Tentu saja aku mau, kuambil alih semangkuk bubur yang berada di tangan Mamak dan mulai menyuapi dirinya dengan hati-hati. Aku bersyukur keadaannya tidak terlalu parah, hanya saja luka di dahi, kedua lengan serta lututnya membuat rasa bersalahku tak kian hilang.

"Di sudah sarapan?" Disela-sela aku menyuapi Akina, Mamak bertanya.

"Alhamdulillah sudah, Mak."

"Sarapan apa?"

"Roti sama susu, Mak," kekehku saat Mamak menggelengkan kepalanya kemudian bergegas bangkit dari duduknya menuju nakas yang berada di samping bangkar Akina.

"Sarapan macam orang barat itu dak bakal kenyang la kalo ntok perot kito ni," ucap Mamak seraya membuka satu bungkus nasi uduk dan memindahkannya ke dalam piring, "sini biar Mamak aja yang nyuapin Kina, Di makan aja nasi uduknya."

Aku meringis dan berusaha menolak tapi tidak baik 'kan menolak rezeki? jadilah tanganku tergerak memberikan mangkuk bubur Akina pada Mamak dan hendak meraih nasi uduk di sana namun terhenti karena suara pintu terbanting keras.

"LO! ngapain lo di sini? dan Mamak ... nggak usah peduli sama dia, Mak!"

Jder! Ya Allah, aku tak mampu berkata-kata lagi. Hatiku sangat sakit, sungguh.

"Arya, Mamak nggak pernah ngajarin kamu seperti itu."

Arya tak menghiraukan perkataan Mamak, dia melangkah menarik pergelangan tanganku dan menggeretku keluar. Mamak mengejar dan menahan lengan kananku yang bebas dari cekalan Arya.

"Arya jangan kasar sama Di!" Mamak berteriak marah.

"Lepasin dia, Mak. Nggak usah peduli sama cewek ini, dia bukan siapa-siapa kita."

Cekalan Arya semakin erat dan membuat tulang-tulangku serasa melemah, sakit melanda hati dan tubuhku. Dia begitu tak peduli, dia sudah sangat membenciku.

Luka dalam Prasangka ✔Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum