[cerpen] Avaritia[1]

453 17 0
                                    

Avaritia[1]
Devin Elysia Dhywinanda

Grith ingin abadi.

Ia telah mengubah sebuah tempat gersang penuh penderita busung lapar menjadi destinasi serta sentral pendidikan dan perdagangan dunia. Ia telah memberikan banyak mimpi ketika orang-orang telah menyerah dan memilih hidup dalam penjajahan nonfisik. Kata anak-anak, Grith adalah malaikat tanpa sayap ... dan malaikat ini telah menorehkan tinta emas di kertas papirus lapuk yang menjadi sejarah negaranya.

Grith ingin abadi. Ia ingin terus menjadi pemimpin. Ia ingin melihat tanah kelahirannya berkembang, berevolusi, berjaya ... ia tidak dapat menerima jikalau negerinya hancur di tangan orang-orang tak berpengalaman. Ia tidak ingin anak cucunya kembali merasakan atmosfer kemiskinan pun kemelaratan yang sedari kecil generasinya kecap. Grith tidak ingin jatuh. Grith ingin bersinar.

Grith ingin abadi.

"Rumput di rumah tetangga memang terlihat lebih hijau, Grith. Ini pilihan krusial. Sekarang, kau mungkin tidak dapat memahami apa itu kehampaan, rasa jenuh, dan keputusasaan. Namun, kau akan benar-benar tahu itu saat kau tidak punya jalan untuk kembali." Dia diam. "Apa kau masih mau menjadi abadi?"

Grith menjawab mantap, "Pengabdian terhadap negara merupakan kehormatan yang tidak ada duanya ... dan saya rela mengorbankan apa pun untuk itu semua."

Dia memandang Grith lekat-lekat. "Seberapa cintakah kamu pada negaramu?"

"Seberharga hidup saya sendiri."

"Seberapa tidak inginkah kamu mengalami stagnasi?"

"Sama seperti Muhammad yang tidak rela pamannya dilalap api neraka."

Mereka saling berpandangan. Dia bertanya pelan, menusuk, "Seberapa besar ... ketidakpercayaanmu terhadap generasimu sendiri, Lux?"

Kalimat Dia menggantung di udara. Amat lama.

*

Grith ingin abadi ... dan ia telah mendapatkannya: di tengah roda pemerintahan yang selalu berputar; di antara sekian sanjungan masyarakat padanya yang seorang malaikat; dalam sebuah keabadian yang ia inginkan. Menjadi dirinya sendiri: sebuah patung perunggu yang dibangun tepat di Gedung Ibukota ... benda tanpa nyawa, tak bisa mati, dan hanya menunggu waktu untuk rusak atau hancur—entah kapan itu terjadi.

Grith ingin marah. Ia ingin berteriak, menyumpah, menangis hingga tenggorokannya kering dan tidak lagi mengeluarkan suara ... tetapi apa yang dapat dilakukan batu sepertinya selain pasif pada keadaan sekitar?

Langit terbelah dan mega berarak menutup cakrawala pagi. Badai datang tiba-tiba dan suara tanpa muara menggema di antara guntur pun guruh, "Kau tidak percaya pada bangsamu. Kau tidak percaya pada bara api dalam hati generasi mudamu. Kau terlalu meremehkan mereka. Kau ingin abadi di atas remah kesombongan dan keegoisanmu sendiri," Grith benar-benar membatu, tak dapat berkata apa-apa. Ia ingin tidur dan bangun di Nirwana, tetapi ia bahkan tidak bisa memejamkan mata untuk menyalahi realita.

Grith telah membuat keputusan krusial ... dan Dia dengan terang menunjukkan bahwa Grith punya sebuah sisi kelam dalam hati terdalamnya.

"Kini, nikmatilah keabadianmu, Grith! Di antara laju pemerintahan negaramu, di antara sanjungan orang-orang ... hanya diam, tidak dapat berbuat apa-apa, sambil menunggu kehancuran yang tidak kauketahui kapan kedatangannya!" (*)

[1] (bhs. Latin) ketamakan; salah satu dari Tujuh Dosa Besar

Ketika Dunia Bercerita [Antologi Cerpen & Puisi dalam Event Frinity Publisher]Where stories live. Discover now