[cerpen] Kegelisahan Eksistensial

5.8K 177 17
                                    

[de javu]
Kegelisahan Eksistensial
Devin Elysia D.

Aku kerap melihatnya—dan, ketika perasaan itu muncul, keyakinan kehilangan kedudukan dan semesta diliputi kegelisahan.

Kendati sepersekon detik dalam hidupnya, manusia pernah meragukan esensi Tuhan: entah karena hanyut oleh sains atau depresi dengan masalah duniawi. Ada yang memilih abai dan mengikuti mayoritas. Ada yang kritis dan memilih tidak percaya. Ada juga yang gelisah karena meragukan pilihannya: seperti bocah itu (yang berjanji mentraktir di kafe favoritku jika aku mau menjawab pertanyaannya).

"Bahkan, tanpa embel-embel rahmat Tuhan pun bumi bisa terbentuk; evolusi tetap berjalan; dan bulan tetap berevolusi terhadap bumi. Alam semesta adalah sistem raksasa yang independen. Kak Aslam harusnya paham itu." Ia menyangga tubuh dengan kedua tangan.

Perkataannya tegas tetapi matanya gelisah. Aku tepekur, merasa melihat diriku yang dulu: independen dan ortodoks-saintik.

Ayah adalah dosen dan Ibu telah pergi saat aku kecil, jadi agama menjadi sesuatu yang asing bagiku: aku hanya mengenalnya dari pelajaran sekolah. Berbekal teori Big Bang dan evolusi Darwin, aku menentang keberadaan Tuhan, hingga bus darmawisataku mengalami kecelakaan yang menewaskan seluruh orang, kecuali aku.

Aku koma dan memimpikan sesuatu. Aku tidak ingat detailnya, tetapi rasanya seperti dibawa ke tempat bercahaya bersama sosok bercahaya. Kami berdialog singkat. Ketika bangun, itu adalah hari kesepuluhku di rumah sakit. Hanya aku yang selamat.

Entah sial atau tidak, aku seperti anak kecil yang ditegur oleh orangtuanya. Aku beruntung bisa selamat tetapi juga tertekan karena mengetahui hanya aku satu-satunya yang selamat.

Sejak saat itu, aku berhenti menentang. Namun, jumlah diriku yang lama kerap berkeliaran di dunia ini, termasuk bocah itu.

Aku menegakkan tubuh. "Kamu percaya bahwa semesta adalah infinitas yang selalu berkembang, 'kan?"

"Ya."

"Kamu percaya bahwa atom adalah unsur terkecil kehidupan, 'kan?"

Bocah itu mengerutkan kening. "Ya."

"Kalau begitu, justru aneh jika kamu meragukan esensi Tuhan. Kamu tahu betul bahwa tidak tampak bukan berarti tidak ada. Logika kita hanya tidak dapat mencapai apa yang dapat dicapai Tuhan." Aku menyilangkan kaki sembari menyesap kopi. Kuperhatikan ia yang ganti membatu. "Yah, setelah ini kau tidak harus percaya pada Dia—iman serta sains itu berbeda—yang penting jadilah 'manusia'. Mukjizat akan datang setelahnya."

Aku tidak tahu jawabanku membantunya atau tidak; tetapi ketika pergi, dia tidak lagi menyerupai diriku yang dulu.

*

Setelah itu, beberapa kali aku keberadaan merasakan diriku yang dulu. Yah, itu manusiawi. Manusia selalu bertanya dan mencari.

Kadang kala, pertanyaan dan perasaan semacam itu kembali datang; tetapi aku memilih mengabaikannya. Tuhan punya rahasia-Nya sendiri; dan percaya tidak harus didasarkan bukti visual semata. Pun, iblis selalu berusaha mengobrak-abrik hati manusia.

Iya, 'kan? (*)

Ketika Dunia Bercerita [Antologi Cerpen & Puisi dalam Event Frinity Publisher]Where stories live. Discover now