[cerpen] Kinanthi[1]

831 58 16
                                    

[melodi]
Kinanthi
Devin Elysia D.

Nak, Ibu mesti berbagi sesuatu padamu: betapa Tuhan telah mengirimkan rahmat mahabesar di Desember yang menggigil. Seorang perempuan tidak akan tahu apa itu kasih sayang hingga malaikat kecil hinggap di rahim realis yang lebih kompleks. Kamu salah satunya; dan lewat Lir Ilir yang acap ditembangkan di lapangan ujung desa, Ibu akhirnya menerima dan bertekad menuntunmu sebagai anak.

"Ibu, bolehkah aku bersandar di pundakmu?"

Ibu menyayangimu melebihi gugus bintang dan kedatangan kemukus; karenanya Ibu akan mendidikmu, membantumu menjadi seorang Kartini masa kini, mandiri yang dapat menentukan keputusan sendiri. Bukan agama yang wajib Ibu tanamkan padamu, tetapi bagaimana menjadi makhluk beragama sehingga kamu bisa lebih bijaksana, terbuka menghadapi semua.

Ibu tidak cerdas, tetapi berpengalaman... dan sepotong harta itulah yang akan Ibu kidungkan selama duapuluh tahun masa hidupmu; untuk melindungimu.

"Ibu, mengapa Ibu bungkam? Apa aku mengganggu Ibu?"

Nak, ada banyak hal yang mesti diceritakan: tentang kamu yang dianggap sebagai noktah hitam oleh masyarakat; tentang Ibu yang mesti menutup telingamu rapat-rapat dan menjauhkanmu dari ingat-bingar kehidupan kelam. Ibu tidak sanggup berterus terang, tidak bisa melihat wajah kecewamu tatkala tahu cahaya terkadang berasal dari lembah kegelapan. Namun, meski sendiri, Ibu berjanji untuk memberikanmu lanskap infinitas kirana di mana setelah kamu menempatinya, kamu boleh tahu dan membuang semua: Ibu serta masa lalu itu.

"Ibu... mengapa Ibu tidak bangun? Apa Ibu marah padaku yang selalu manja? Apa Ibu marah karena aku rela membuang apa saja demi berada dalam pelukanmu?"

Tuhan akan memberikan kebebasan saat hamba-Nya melakukan penebusan—dan Dia selalu menepati janji, Nak. Azan subuh terdengar amat merdu ketika Izrail menjalankan tugas dengan lembut, tanpa aba-aba, tanpa peringatan sebagaimana dilakukan pada mereka yang ingkar. Ibu tidak kuasa menolak, Nak, pembebasan itu adalah jalan spiritual yang dirindukan semua manusia.

"Bangunlah, Bu... Aku berjanji akan mandiri mulai saat ini."

Pergi bukan berarti benci. Mendiamkan bukan berarti melupakan. Jika dirunut, barangkali dibutuhkan berlembar kertas untuk menuliskan ketakutan ini... tetapi, doa Ibu tampaknya didengar oleh kawanan tonggeret dan perdu di sekitar rumah: kamu tidak akan menjadi seperti Ibu.

"Ibu, aku ketakutan...."

Nak, kendati kamu telah beranjak dewasa, kamu tetaplah bayi mungil Ibu yang selalu merengek ketika malam hair, yang senantiasa Ibu cium tatkala dunia terlampau keras memperlakukanmu. Akan tetapi, ada saatnya kamu mesti menginjak kedewasaan... dan inilah momen yang tepat—ada banyak kata belum terucap, tetapi Ibu yakin kamu baik-baik saja.

Amarga urip terus mlaku, cah ayu/ Nadyan nggegirisi ati/ Lila kareben pinuju/ Tumimbal bali nyang Gusti/ Tan isa diselak wong-wong[2]

Malaikat berbisik pelan... tanpa kamu tahu. (*)

[1] tembang Jawa yang punya karakteristik tresna asih; cocok digunakan sebagai pituduh (nasihat)
[2] Karena hidup terus berjalan, Anak Cantik/ Meskipun membuat hati teriris/ Ikhlas untuk menuju/ Kembali ke Tuhan/ Yang tidak bisa ditolak orang-orang

Ketika Dunia Bercerita [Antologi Cerpen & Puisi dalam Event Frinity Publisher]Where stories live. Discover now