[cerpen] Orang-orang Dalam Lubang

605 27 5
                                    

Orang-orang Dalam Lubang
Devin Elysia Dhywinanda

.
[harap bijaksana dalam menafsirkannya]
.

Orang-orang di lubang ini punya nama, begitu juga aku. Pria di depanku bisa saja bernama Muttaqin; lansia di seberang sana mungkin bernama Matius; sedangkan yang baru saja meregang nyawa itu bisa kausebut Toiran. Namun, tampaknya dunia sepakat bahwa menyebut kami sebagai pendosa lebih efisien ketimbang mendaftar identitas kami dalam sejarah bangsa.

Bukan tanpa alasan. Sejak setahun silam, atmosfer negara kami dipenuhi oleh bau darah dan kemarahan massa. Jumlahnya melebihi kadar oksigen di udara. Amat pekat, tentu. Saking pekatnya, masyarakat seolah dibutakan oleh dendam dan memilih memangkas semua golongan yang disinyalir sebagai pendosa, entah itu kabar burung atau fakta.

Manusia punya trauma hebat akan tragedi masa lalu dan aku bisa mengerti alasan mereka sudi mengenyahkan kemanusiaan adalah agar kejadian itu tidak terulang lagi ... bahkan jika itu berarti menjadi anjing-anjing dari sebagian orang.

"Berlutut! Angkat kedua tangan kalian!" Pria bersenapan itu berteriak. "Pendosa seperti kalian pantas untuk mati! Kafir seperti kalian harus hilang dari tanah ini!"

Aku tersenyum sarkas. Masyarakat selalu terpaku akan cap yang diberikan oleh pihak berkuasa; sama seperti yang mereka lihat dari orang-orang di lubang ini. Muttaqin mungkin seorang guru teladan di sekolahnya; Matius bisa saja seorang tokoh yang dihormati masyarakat; sedangkan Toiran adalah penggerak massa yang cukup kritis—tetapi sekali didakwa menjadi pendosa, publik serta merta menuntut buat dihukum seberat-beratnya ... tidak peduli riwayat asli serta kebaikan yang kami lakukan. Tidak akan ada yang meneliti berkas-berkas yang menegaskan kami tidak bersalah. Tidak akan ada yang menyadari bahwa kami hanyalah korban—kambing hitam atas propaganda raksasa di balik Istana.

Aku memandang salah seorang dari mereka yang memaksa Muttaqin untuk berlutut. Marah sekaligus lelah.

Kami adalah umpan ... tidakkah kalian menyadari hal tersebut?

"Tuhan tidak akan mengampuni kalian! Kalian akan dikutuk di neraka terdalam! Kalian akan merasakan kesengsaraan kami akibat perbuatan kalian!"

Telingaku memanas. Aku ingin berteriak bahwa di mereka telah diperalat kekuasaan, bahwa sang Dalang Utama tengah tertawa menyadari rencananya terlaksana. Namun, buat apa membela diri ketika sang petinggi menitah untuk membasmi orang-orang berdosa tanpa terkecuali? Buat apa menjelaskan sekian hipotesis tentang kudeta besar-besaran jika publik telah didoktrin untuk membenci sebagian orang? Suaraku bakal habis dan aku kelak jadi bangkai juga. Iya, kan?

"Bersiap!"

Aku memejamkan mata sampai air mataku menetes. Tawa sarkasku bergema dalam kepala.

"Tembak!"

Sedetik kemudian, rentetan tembakan meniadakan kami sebagaimana angin menghapus jejak musafir di atas padang pasir.

*

Tidak perlu bertanya siapa namaku, apa jenis kelaminku, apa pekerjaanku, apakah aku betulan penjahat atau justru yang dijahati, serta apakah aku cukup waras untuk kalian percayai. Identitas dan fakta tak lagi berguna jika masyarakat telah mencap kita dengan sesuatu (itulah yang kuyakini sampai akhir hayatku). Namun, jika kalian betul-betul ingin tahu siapa aku (atau mungkin cap yang telah mereka berikan padaku), buka saja buku sejarahmu dan temukan aku dalam salah satu arsip kelam nasional.

Ya, itu dia! Kalian sudah menemukannya, kan? (*)

Ketika Dunia Bercerita [Antologi Cerpen & Puisi dalam Event Frinity Publisher]Where stories live. Discover now