"Hakikat Cinta Under Printing"

757 20 0
                                    

*Cerita Ketika Mencetak Naskah Hakikat Cinta*
Imam Abdullah El-Rashied

Setelah naskah Hakikat Cinta siap untuk dicetak, aku mencobanya untuk nyetak di sebuah Minor Printing di Mukalla. Kebetulan operatornya sudah sangat akrab denganku.

"Nyetak apa?"
"Buku"
"Kamu yang nulis?"
"Ia"
"Covernya bagus"
"Makasih"
"Tentang apa?"
"Tentang cinta"
"Bisa sedikit kamu baca kutipan yang bagus dari buku kamu?"
"Oh boleh. Bentar saya buka halamannya."

جــــــــعـــــلــــــت من وردتـــها ¤  تــــــمــــيـــــمــــة في عــضدي
أشــــمـــــــهـــــــا من حـــــبــــهــا ¤ إذا عـــــــــلانـــي كـــــــمـــدي
فمن رأى مــــثـــــلي فــــــتى ¤ بالحزن أضحى مرتدي
أســــــقـــــمـــه الــحب فــقــد ¤ صـــار حـــــلـــــــيـــــف الأود
وصـــــــار ســــــهــــــواً دهـــــــره ¤ مـــــــــقــــــــــارنــــــاً لـــلــــكــــمــــــد
"Aku menjadikan mawar di lenganku sebagai jimat."
"Aku menghirup (aroma)nya jika kesedihanku memuncak, lantaran cinta kepada dia."
"Adakah di antara kalian yang menemukan pemuda yang berselimutkan kesedihan sepertiku?"
"Cinta telah membuatnya sakit, dan kini ia menjadi sekutu nestapa."
"Hidupnya hanyalah kelinglungan yang disertai kesedihan."

Lantas operator itu bilang: "Cukup. Terlalu dalam dan tajam maknanya. Saya tak kuat mendengarnya. Cinta memang selalu begitu. Bukan hanya hati yang dibuat remuk, badan juga dibuat remuk, sakit."

Aku hanya mengangguk mendengarkannya. Lantas dia curhat. Aku kira hanya bercerita.

"Mam, bermain cinta artinya kita berspekulasi dengan jiwa. Dan, saya pernah mengalaminya.

Dahulu, di belakang kampung ini. Jauh ke arah situ [Dia menunjuk arah kanan tempat kerjanya].

Tiap hari. Jam 11 malam. Yah, itu adalah waktu kami berjumpa. Biasanya dia membuka jendela dan memegang hpnya. Aku hanya melihatnya dari seberang rumahnya.

Malam hari adalah jadwal kami merajut cinta. Menenangkan kerinduan. Bertukar kata-kata mesra. Indah. Sangat indah.

Hubungan kami berjalan lancar dalam waktu yang lama. Hingg akhirnya masa-masa buruk itu tiba.

Sudah satu minggu lebih aku tak menatap wajahnya di jendela lantai 3 rumahnya. "Mungkin dia sudah tidur," pikirku kala itu. "Atau dia sedang sakit." Aku coba mencari alasan untuk menenangkan gundah di hatiku.

Semunggu. Dua minggu. Dan sebulan telah berlalu. Jendela hanya papan kayu tak bersuara. Wajah bening tak lagi terbit di daun jendela bercat coklat itu. Aku resah. Sangat-sangat resah.

"Kemana dia pergi?"
Dia menghilang tanpa kabar. Sedangkan aku? Rindu ini terus menumpuk pilu. Akhirnya kuberanikan diri tuk bertanya pada tetangganya yang sudah mengerti hubungan kami. "Dia ke Belanda, ikut Bibinya." Itu kepastian yang kudapat setelah sebulan tanpa kabar.

Setidaknya aku merasa tenang. Kini aku tahu di belahan bumi mana dia berpijak, di Belanda.

"Pak, tolong kalau ada nomer telfonnya saya minta"
"Siap, nanti saya carikan."

Semunggu berlalu. Aku mendapatkan email kekasihku.

Akhirnya kami berkomunikasi kembali dengan Yahoo Messenger. Kerinduan yang kering kerontang, akhirnya terbayarkan. Aku tak bisa bayangkan kebahagiaan yang kudapat saat bisa kembali menyapanya. Bertukar kata-kata mesra dengannya.

Tapi sayang. Kebahagiaan itu tak lama berlalu. Berganti menjadi badai pilu.
"Abdullah, maaf. Maaf sekali. Aku tak kan menjadi kakasihmu lagi. Kuakui cinta ini masih bertahta di sanubari. Tapi aku tak ingin membohongi. Kuharap kau bisa memaafkanku. Anggap saja aku hanya temanmu yang kini sudah berada di tempat tak menentu. Lupakan aku Abdullah."

Seperti disambar perir di siang bolong. Badai-badai pilu menghantamku tanpa ampun. Apa salahku?
Setelah sebulan pergi tanpa berpamitan. Ketika kerinduan itu datang menghadang dan aku bisa menemukan sumber kerinduan itu, lantas kau berkata : "Lupakan Aku!"
Semudah itukah hubungan kita berlalu. Berakhir seperti kayu dalam pembakaran menjadi abu.

"Fatimah. Adakah cintamu hanya ilusi semu. Ataukah hanya kata-kata penuh tipu. Teganya kau memintaku untuk melupakanmu. Setelah kau pergi jauh meninggalkanku. Tanpa kabar tak menentu."

Remuk. Hancur. Hilang arah. Nyaris saja hidupku berakhir karena menahan sakit hati yang begitu mencekam. Aku sakit berbulan-bulan. Hidupku hancur karena cinta. Oh Tuhan, kenapa cinta yang indah membuatku selalu gundah? Cinta yang nyaris membunuhku. Apakah ini hukuman-Mu padaku?

Tahun-tahun kesedihan berlalu. Aku berusaha melupakannya meski tak mampu. Kini aku sudah sibuk dengan pekerjaan baruku. 10 tahun lamanya hatiku membisu. Cinta datang dengan senyuman dan pergi menyisakan kepedihan.

Beberapa bulan lalu. Seorang wanita bercadar membawa 3 anak masuk ke ruang kerjaku. Dia hanya duduk diam di kursi tunggu. Setelah pelanggan lainnya pergi, aku berkata padanya : "Silahkan Bu, ada yang bisa kami bantu?"
"Abdullah, apakah kau masih mengenalku?"
"Maaf, saya tak tahu"
"Aku Fatimah Abdur Rozzaq."

Derrr. Seperti tertembak senapan laras panjang. Entah kenapa nama yang sudah belasan tahun kulupakan kini terdengar di telingaku. Diucapkan oleh pemilik nama itu.
Kenapa ketika seseorang ingin melupakan kenangan buruk, justru kenangan itu datang dengan wujud yang mengerikan?
Cinta tak selamanya berpihak padaku.

"Maaf Bu. Silahkan keluar! Kumohon dengan hormat."

Fatimah. Kau begitu tega kepadaku. Dahulu kau pergi tanpa memberitahuku. Setelah aku bisa menghubungimu, lantas kau menginginkan perpisahan untuk selamanya. Butuh bertahun-tahun lamanya aku bisa melupakanmu dengan segala kesibukanku. Lantas, kau datang dengan 3 anak dan bertanya : "Abdullah, apakah kau masih mengenalku?"
Kenapa luka yang dalam itu kau buka kembali. Tak cukupkah kau menyakiti hati ini.
***

"Yah, begitulah mam kisah cintaku dulu. Kenangan yang menyakitkan. Makanya jangan bermain-main dengan cinta." [Selesai]

Keterangan : Nama disamarkan.
Mukalla, 25 Agustus 2018.

Hakikat CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang