Sore itu tepat satu hari hubungan mereka tidak berjalan seperti biasa. Entah masih jeda atau akhir dari segalanya.

****

Clarissa tidak dapat lagi mengatasi perasaan yang berkecamuk. Saat terbangun dengan kepala berat dan tangan tertusuk jarum infus, dia sudah benar-benar muak. Tidak ada lagi sosok yang mampu bertahan lebih lama di bawah gerimis. Tidak ada juga Clarissa yang tidak takut akan berlarian di bawah terik mentari.

Menunggu Delmar yang sedang membeli air mineral ke kantin rumah sakit ternyata melelahkan. Clarissa hanya sibuk memperhatikan ruangan serba putih yang ditempatinya sejak beberapa jam lalu. Sungguh, dirinya tidak ingin berada lebih lama di tempat ini.

"Mau minum?"

Terlalu sibuk menatap hampa sekitar, suara ketukan sepatu yang beradu dengan dingin lantai tidak mampu mengusik indra pendengarannya. Ketika sebuah tangan terulur bersama sebotol air mineral tepat di depan wajahnya, barulah Clarissa mengalihkan pandangan. Ucapan terima kasih dan tangan yang terangkat hampir menyentuh benda transparan itu terhenti setelah pandangan matanya bertemu dengan sosok yang berdiri menjulang tersebut. Segaris senyuman tipis terlukis di wajahnya yang tampak lelah. Cekungan di bawah mata laki-laki itu bahkan menghitam.

"Clarissa."

Suara itu. Clarissa telah merindukannya, bahkan baru satu hari suara bernada berat nan rendah tersebut menghilang dari rotasi kesehariannya. Clarissa mengalihkan pandangan. Tanpa berkata sepatah kata pun, gadis itu bersiap melepaskan jarum infus yang menusuk tangannya.

"Maaf."

"Bisa lo berhenti bilang kata-kata itu?" Mata Clarissa terasa memanas ketika mencoba menghunus tajam sosok yang saat ini melangkah mendekat.

"Maaf, gue gak bisa bilang apa-apa lagi." Jemari Darrel yang menggenggam botol air mineral terkepal erat.

"Cukup! Jangan temui gue kalau kita masih begini." Ada jeda sebelum Clarissa melanjutkan kalimatnya. "Tolong pergi."

Perasaan Darrel kian berkecamuk. Clarissa tampak hancur. Wajah mulus itu kehilangan rona yang selalu mencuri atensinya. Senyum sehangat mentari pagi milik Clarissa telah sirna. Darrel tahu arti dibalik bibir gadis itu yang bergetar dan iris yang enggan menatapnya. Clarissa benar-benar kecewa.

"Gue harus gimana?"

Tidak ada jawaban untuk pertanyaannya itu, hanya terdengar semilir angin yang menerbangkan gorden putih jendela saja. Jika hidup dalam kepedihan orang lain dapat membuat seseorang merasa bahagia, maka Darrel tentu tidak akan pernah merasakan sakit. Hidupnya akan berjalan teramat bahagia karena dia berada dalam penderitaan orang lain. Benar, Darrel memang hidup seperti itu. Namun, Darrel merasa menjadi manusia paling bodoh sekarang. Dia gagal membuat semesta kembali seperti dulu. Dia gagal membuat kehidupan seseorang jauh lebih baik karena bertemu dengannya.

"Pergi, Darrel! Jangan pernah cari gue lagi kalau lo masih kayak gini!" Sebulir air mata jatuh dari pelupuk mata. Clarissa mati-matian menahan gejolak sakit di dadanya.

"Clar-"

"Lo gak denger? Pergi, sialan!" Saat itu juga jarum yang menusuk tangannya terlepas paksa ketika gadis itu akan menutup wajahnya. Air mata semakin deras mengalir di pipi, bukan karena sakit dari tangannya yang kini mengeluarkan darah, tetapi sakit karena harus mengatakan kata-kata itu di depan Darrel.

Darrel tertegun. Hatinya sakit, sungguh. Clarissa memang sering memakinya dengan kata-kata bercanda tapi kini gadis itu bersungguh-sungguh ketika mengatakannya. Darrel menarik napas sejenak lalu berbalik pergi. Keresek putih di tangannya masih tergenggam erat. Untuk sekarang membiarkan Clarissa sendiri mungkin adalah yang terbaik.

Darrel menutup kembali pintu ketika sudah berada di luar. Bersamaan dengan itu, suara tangis Clarissa terdengar. Darrel terduduk lemas di kursi tunggu tak jauh dari sana. Dia melirik sebotol air minum serta roti keju yang sangat Clarissa sukai. Kini semuanya tampak sudah berakhir. Darrel melemparkan barang yang dibawanya asal kemudian mengusap wajahnya kasar.

Satu pesan kembali masuk ke ponselnya. Darrel mengembuskan napas sejenak, kemudian mengambil benda elektronik yang berada di saku celana denim hitamnya. Hari ini 1 Oktober, di mana seharusnya dia bergegas pergi untuk mengikuti tahap awal olimpiade matematika.

Darrel selalu gagal dalam membuat pilihan. Sekali lagi, Darrel telah mengecewakan orang-orang yang disayanginya. Ia kembali menjadi orang tidak berguna untuk siapapun di sisinya. Darrel selalu begitu dan akan tetap sama.

****

Gimana part ini? Udah bisa mengobati kerinduan kalian sama Clarel?

Maaf banget baru bisa sempet update, ada kesibukan lain juga belakangan ini kayak ngerasa stuck buat nulis. Tapi, karena kalian yang masih setia nunggu, aku pasti berusaha buat lebih baik lagi.
Terima kasih ♥

Untuk ke depannya, aku gak tau bakal update hari apa. Jadi, kalian tunggu aja kabar baiknya. See you!

Salam hormat,
rarisss

AMWhere stories live. Discover now