AM | 21

3.8K 193 19
                                    

Bahkan hingga petang kembali menyapa, tidak ada sedikitpun senyuman di bibir ranum itu. Tiga buah gelas kosong sudah berserakan memenuhi meja kayu. Darrel menyimpan gelas keempat yang baru saja diteguk isinya. Rasa pahit mulai menjalari lidah. Jujur saja, kepala Darrel sedikit pening sekarang. Semalam dia tidak bisa tidur dan berakhir mengonsumsi minuman bersoda hingga merasa puas, tidak jauh berbeda dengan sekarang. Dapat Darrel pastikan bahwa malam nanti dirinya tidak akan bisa memejamkan mata kembali. Kafein yang dikonsumsi berlebihan saat ini akan memberikan timbal balik buruk untuk tubuhnya.

Darrel tidak melakukan apa-apa, selain melihat aktivitas orang lain juga mendengarkan alunan lagu yang terputar melalui pengeras suara kafe ini. Dua jam berlalu dan dia tetap melakukan hal tersebut hingga mencapai gelas keempat yang sudah dipesan. Entah harus berbuat apa untuk menghilangkan bayang-bayang mengerikan dari masa lalu. Darrel juga takut semua kenangan yang tersimpan rapat dari dunia akan terbongkar. Ribuan kata maaf mungkin tidak lagi bisa mengobati perasaan seseorang karena ulahnya.

Notifikasi dari satu pesan yang masuk ke ponselnya berhasil merenggut perhatian Darrel. Dia segera membuka ruang perpesanan dengan seseorang yang dipercaya dapat menjaga sang kekasih. Ah, apa masih bisa Darrel menyebutnya begitu? Mengingat kemarin, kekecewaan tampak nyata di mata gadis pemilik senyum sehangat mentari pagi itu.

+6285498xxxxx
Clarissa udah membaik

Darrel tidak mau mengetikkan balasan. Biar saja percakapan itu berakhir sampai di sana. Bukan berarti rasa pedulinya berkurang, tetapi Delmar setidaknya dapat menggantikan posisi dia untuk sementara. Kita butuh waktu untuk memperbaiki diri, kata itu selalu melintas kala Darrel akan melakukan sesuatu. Perkataan Clarissa layaknya kaset rusak yang dipaksa terus berputar.

Kali ini keinginan untuk kembali meneguk kopi telah hilang. Laki-laki dengan kaus hitam polos itu memakai kembali jaket denim hitamnya, kemudian bangkit. Dia bergegas ke kasir untuk membayar total pesanan. Beruntung tidak ada lagi yang mengantri sehingga tidak membutuhkan waktu lama, kartu debit miliknya sudah kembali dimasukkan ke dalam dompet. Darrel berjalan tergesa meninggalkan bangunan dengan arsitektur hitam dan putih itu.

Tidak fokus adalah salah akibat dari kurangnya istirahat dan asupan makanan. Darrel akui hari ini dia merasa letih juga tidak bisa melakukan sesuatu dengan baik. Dari saat keluar dari apartemen, dirinya telah menjatuhkan vas bunga, hampir menerobos lampu merah, dan sekarang dia menabrak tubuh seseorang di pintu masuk.

"Maaf." Darrel mendongak dan saat itu juga pandangannya terpaku untuk sejenak. "Om?"

"Darrel, ya?"

Darrel mengangguk diiringi senyuman tipis. Jelas dia tahu siapa pria berjas rapi yang berdiri di hadapannya, dialah ayah Clarissa yang beberapa bulan belakangan pindah bertugas ke luar kota. "Tante di sini juga, Om?"

"Nggak, Rel. Lain kali kita harus ngobrol, tapi sekarang Om masih ada urusan lain di sini."

Senyuman di bibir Adrian Wijaya menjadi akhir dari sapaan singkat mereka. Tidak biasanya juga dia berkata tidak memiliki waktu ketika berjumpa dengan Darrel. Meski hubungannya dan Clarissa berjalan baru satu tahun, orang tua gadis itu sangat mempercayai dia sepenuhnya. Beban di pundak laki-laki itu terasa kian memberat. Bukan hanya satu orang yang akan kecewa, tetapi banyak pihak yang akan menghakimi kesalahannya. Darrel teramat takut kehilangan senyuman dan kepercayaan dari gadis yang selalu menghadirkan rasa khawatir di hatinya.

Hati manusia itu tidak selalu berada dalam satu perasaan, kapan saja dia mau maka akan berubah. Darrel awalnya merasa asing dengan bersikap terlalu peduli pada Clarissa. Namun, kini seperti ada yang hilang ketika tidak mendengar lagi keluhan gadis itu. Seperti ada hampa yang menggerogoti makna hidupnya.

AMWhere stories live. Discover now