AM | 20

3.8K 206 8
                                    

Clarissa tidak pernah berpikiran akan mengalami beberapa kekecewaan dalam hubungan asmaranya. Namun, ternyata dia terlalu naif akan hal itu. Tidak semua berjalan sesuai dengan apa yang diharapakan, ada kalanya suatu hal menggores rasa percayanya tanpa terduga.

Di samping gadis berwajah sepucat mayat tersebut, figur Darrel terdiam dengan tangan memegang erat kemudi. Kendaraan tidak dalam keadaan melaju karena dirinya selalu menahan laki-laki itu yang akan menarik perseneling.

"Lo udah makan?"

Dari sekian banyak pertanyaan yang bercokol, hanya itu yang mampu tersampaikan. Rangkaian huruf bagai duri tajam menikam jauh di lubuk terdalam. Bohong jika Clarissa mengaku baik-baik saja. Dia menunggu hari istimewa ini selama berbulan-bulan dan berharap akan ada waktu paling sempurna untuk dikenang selamanya. Clarissa tidak munafik bahwa dirinya membutuhkan hal itu.

"Maaf."

Jemari yang semula gemetar karena dingin kini dilingkupi rasa hangat dari tangan yang melingkupinya. Clarissa sangat ingin mengurai kontak fisik itu, tetapi dia tidak kuasa. Selain tubuh yang menggigil, Clarissa juga membutuhkan kehadiran Darrel di saat rembulan hampir menggantikan sang mentari hari ini.

"Tolong dengar ini baik-baik. Apa pun yang terjadi ke depannya, lo harus janji jangan pernah bilang kata maaf lagi." Clarissa mendongak guna memandang wajah Darrel yang menyiratkan penyesalan tidak berujung serta rasa letih dari matanya.

Tidak ada jawab apa pun yang keluar dari bibir ranum Darrel. Untuk sejenak Clarissa kehilangan rasa hangat di jemarinya karena laki-laki itu mencari sesuatu di kursi belakang. Tidak lama kemudian, jaket denim hijau tua telah terpasang sempurna di tubuh mungil Clarissa. Dekapan erat dan elusan di surai hitam sepunggungnya terasa begitu menenangkan perasaan yang berkecamuk. Clarissa selalu terbuai akan kenyamanan bersembunyi dari kekejaman dunia di dada bidang ini.

"Gue gak akan pernah bisa, Clarissa. Cuma kata itu yang bisa mengurangi rasa sakit lo."

"Bukan, bukan itu. Gue butuh lo, gue butuh dekapan lo, dan gue butuh pundak lo buat bersandar dari rasa ragu dan takut." Clarissa mengurai dekap yang terasa kian menyesakkan. "Gue gak pernah tahu kehidupan lo gimana di luar sana, bahkan sekarang kita kayak makin jauh. Jujur, hubungan kita makin kelihatan satu arahnya."

"Clar—"

"Apa? Maaf? Kenapa lo selalu bilang kata itu dengan mudahnya?" Clarissa mengalihkan pandangan ke arah kaca mobil yang berembun. "Darrel, gue gak butuh kata-kata dusta itu lagi!"

Hening kembali berkuasa di antara dua insan manusia yang saling terpaku pada gemuruh hati masing-masing. Clarissa dengan rasa takut dan kecewanya, sedangkan Darrel dengan beban berat selama satu tahun belakangan ini.

"Gue capek." Lirihan Darrel terdengar menggema.

Fokus Clarissa menjadi berpindah pada wajah laki-laki dengan pakaian basah kuyup itu. Dia menunggu kata selanjutnya dengan perasaan kian tidak menentu.

"Kalau itu yang mau lo dengar, gue capek. Gue capek sama kehidupan gue yang makin gak tertata."

"Let's break, we need time to improve."

"Clar." Darrel akan meraih tangan Clarissa kembali, tetapi gadis itu menepis dengan cepat.

"A relationship requires mutual trust. Promises also always demand to be kept. If we can do both, let's go back again." Clarissa membuka pintu mobil Darrel dan mendorongnya agar terbuka, kemudian keluar tanpa berniat menoleh lagi.

AMWhere stories live. Discover now