AM | 7

5.1K 290 22
                                    

Cakrawala kini sudah dikuasai oleh gradiasi biru, nyaris tanpa dekapan awan. Hawa sejuk yang dihasilkan dari beberapa pohon yang tingginya hampir setara dengan balkon merangkul suasana rumah Clarissa.

Rumah yang Clarissa tempati selama hampir delapan tahun ini, hanyalah hunian sederhana dengan luas halaman tidak lebih dari empat meter.

Clarissa memejamkan mata ketika menikmati rasa tenang yang tercipta. Tempat tinggalnya yang lumayan jauh dari hiruk-pikuk pusat kota semakin membuatnya nyaman.

Ketika membuka mata, suguhan bunga kesayangannya begitu memanjakan mata. Halaman rumahnya memang hanya dikuasai olehnya. Sang ibu yang belakangan ini jarang pulang tak mempunyai waktu untuk mengurusnya. Jangan salahkan Clarissa jika tanaman milik ibunya banyak yang mati. Sejauh ini, Clarissa hanya peduli pada bunga iris miliknya.

Clarissa tersenyum ketika bunga-bunganya mekar bersamaan. Di sudut paling ujung bunga iris kuning yang berkuasa, di tengah iris ungu, dan di bagian paling dekat dengan garasi terdapat bunga iris putih.

Jika bertanya mengapa Clarissa lebih suka bunga iris dari bunga lainnya, Clarissa juga tak tahu pasti bagaimana alasannya. Gadis itu menyukai bunga iris karena menurutnya, bunga itu mampu berbagi keindahan bersama daunnya. Bunga iris tanpa daun, tidak akan sempurna keindahannya. Selain itu, ada hal lain yang membuat sosok Clarissa tak bisa terlepas dari bunga iris. Bunga tersebut adalah lambang harapan dan Clarissa selalu hidup dalam harap besarnya.

Bunyi panggilan telepon dari ponselnya mengalihkan atensi Clarissa. Gadis itu tanpa menunda waktu berbalik, kemudian melangkah memasuki kamar. Sepasang kaki berbalut sandal merah muda berbulu tebal itu bergerak melewati pintu teralis yang menghubungkan kamar dengan bagian balkon.

Nama Darrel memenuhi layar ponselnya. Clarissa segera mengambil benda yang tergeletak asal di bagian bawah tempat tidur, tepat di atas selimut tebal berwarna putih gading.

"Ke bawah sini, gue tunggu di depan rumah." Suara bernada berat terdengar di seberang sana.

Clarissa berdecak kesal. "Masih pagi, Darrel. Gue pengen tidur lagi."

"Ayo jalan-jalan, gue bawa bunga iris."

"Tunggu!" Clarissa segera menutup sambungan telepon secara sepihak. Gadis itu dengan cepat meraih handuk setelah menyimpan ponsel berlogo apel tergigit itu. Clarissa dan bunga iris, tak akan pernah bisa terpisahkan.

Clarissa menghabiskan waktu lima belas menit untuk berada di kamar mandi. Masalah pakaian, Clarissa tak pernah pusing. Asalkan dirinya nyaman, Darrel juga tidak akan berkomentar apa-apa jika apa yang dikenakannya masih dalam batas wajar.

Pilihan Clarissa jatuh pada celana denim biru tua dipadukan dengan atasan sweater rajut mustard longgar. Tak lupa Clarissa memakai ikat pinggang untuk melengkapi pakaiannya. Clarissa kemudian menyisir rambut sebelum mengoleskan pelembab bibir. Hanya itu yang Clarissa lakukan di depan cermin.

Gadis itu mengambil ponsel dan tas selempang kecil serta sepatu kets putih di rak samping pintu. Clarissa kemudian membuka pintu, lalu segera menuruni anak tangga dengan tergesa.

"Mbak Eka, Clarissa pergi dulu. Kamarnya tolong diberesin, ya."

Tanpa mau menunggu jawaban Mbak Eka, Clarissa setengah berlari menuju pintu utama. Darrel menepati perkataannya untuk menunggu di depan rumah saja, entah apa alasannya. Cowok itu kini sedang sibuk memandangi hamparan bunga iris di hadapannya.

AMWhere stories live. Discover now