02 • Please, Save It

134 36 7
                                    

"Apa?!" Jihoon tersentak sampai mengubah posisi duduknya yang semula bersandar di sofa menjadi duduk tegak

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Apa?!" Jihoon tersentak sampai mengubah posisi duduknya yang semula bersandar di sofa menjadi duduk tegak. "Perusahaan Halmeoni hampir ... bangkrut?"

Kedua orang tuanya yang duduk tidak jauh dari tempatnya mengangguk lemas. Tidak ada yang bisa disembunyikan lagi dari anak semata wayang mereka itu. Kini Jihoon memijat pelipisnya yang mulai berdenyut, meredakan emosi.

"Kau tahu, kegagalan The Wanone Corporation tentu berdampak besar juga kepada perusahaan kita, Jihoon-ah," jelas sang ayah, Park Ji Wook, yang terlihat lebih tertekan di sini. Ia jelas khawatir dan resah memikirkan masalah yang jelas membentang di depan matanya.

Sebagai salah satu dari sebelas calon pewaris The Wanone Corp., tentu Jihoon tahu pasti bagaimana perubahan kecil di perusahaan induk itu akan berdampak luar biasa pada anak perusahaan seperti yang saat ini dikelola ayahnya. Dia merasa tidak bisa tinggal diam. Tekadnya bulat, entah dari mana ia mendapat suntikan ambisi untuk dapat menyelamatkan The Wanone Corp.

"Apa ada yang bisa ... dilakukan, Appa?" ujarnya lirih, hampir putus asa namun menguatkan diri untuk menatap erat ayahnya. "Aku tidak bisa hidup seperti ini lagi."

Terbayang betapa sulitnya kedua orang tua di hadapannya ini untuk menyesuaikan dengan perubahan yang biasa terjadi di The Wanone Corp. Ia tahu pasti, ayahnya sudah terbiasa sibuk, menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mempertahankan perusahaan yang dikelolanya.

Oleh karena itu, Jihoon sengaja tinggal menjauh ketika memulai pendidikan di perguruan tinggi. Awalnya dia berniat menghindari ayahnya yang memang workaholic Namun saat ini, ia merasa harus ikut mempertahankan juga apa yang telah dibangun oleh ayahnya.

"Besok Eomma akan memanggil kesebelas cucunya ke rumahnya, termasuk kau," sahut ibunya, seperti baru teringat sesuatu. Tiba-tiba ekspresinya berubah antusias. "Datanglah ke sana, Jihoon-ah."

Ayahnya ikut mengangguk setuju. "Ya, untuk saat ini, hanya itu yang bisa kau lakukan untuk membantu. Datanglah ke sana."

Tak lama kedua orang tuanya mulai beranjak meninggalkannya sendiri di ruang tengah. Kini pandangannya lurus ke depan, menatap acara komedi di televisi tapi anehnya kali ini ia tidak bisa tertawa sedikitpun. Ia menghela napas resah lalu beralih sejenak ke ponselnya yang kini berada di tangan kanannya.

Park Jihoon: Aku tidak bisa datang kali ini
Park Jihoon: Mianhae
Park Jihoon: Tidak perlu menungguku

Selama beberapa detik ia menatap pesan yang dikirimnya satu jam lalu itu. Tidak ada balasan. Membuat pemikirannya semakin rumit, ia jelas merasa bebannya semakin bertambah. Perasaannya pun jadi tidak menentu. Dia sendiri bingung.

Dalam beberapa saat pikirannya kembali melayang meskipun kedua matanya menyantap suguhan televisi yang masih menyala itu. Ia resah dengan berbagai alasan yang dirinya sendiri sulit menerimanya. Tidak lama, getaran dari ponselnya membuat Jihoon spontan meraih kembali benda persegi tipis itu.

Tell Me Why ▪ Park JihoonWhere stories live. Discover now