Ini Dia

20 3 2
                                    

Tapi tunggu dulu, mengapa Jessy ada disini? Apakah dia juga seorang Hugo? Aneh sekali, daritadi dia hanya diam tak berkata sedikitpun. Ku dekati dia dan bertanya.

"Kamu ini Hugo?"

"Kalo iya memangnya kenapa?!?!"

"Kalem dong, aku hanya ingin bertanya. Kenapa daritadi kamu hanya diam saja?"

"Ini itu sesuatu yang sangat luar biasa dan butuh konsentrasi lebih, jadi diamlah."

Baiklah, aku diam. Melihatnya sedang berdiri menghadap tembok kayu yang sudah rapuh. Matanya menyala dengan sinar berwarna ungu. Tangannya mengeluarkan bola-bola berwarna ungu yang diarahkan ke tembok. Lalu wushh...! Tercipta sebuah portal ke dunia lain. Tunggu, itu portal menuju Iris. Pak Burhan kemudian bertranformasi menjadi Bravo. Dan Jessy, aku tak tahu dia bertransformasi menjadi apa tapi jika dilihat secara seksama lebih seperti angsa.

"Ayolah masuk, tunggu apalagi?" ucap si nenek.

"Kalian tidak mau dunia ini hancurkan?" tambahnya.

Kami bertiga mulai masuk ke dalam portal dimulai dari Bravo dan diakhiri dengan Jessy, karena dia harus menutup portalnya kembali. Kami seperti berjalan di sebuah lorong panjang abstrak yang ujungnya hampir tak terlihat. Saat kulihat ke sekitar ini nampak seperti berada di saluran bawah tanah. Rupanya kami tak sendiri, banyak prajurit-prajurit Iris sedang melakukan perjalanan dengan berbeda-beda jalan. Aku bisa melihatnya karena tempat ini hanya seperti ruangan dengan banyak pintu. Setelah sekitar 10 menit berjalan, aku melihat cahaya terang di ujung lorong. Dalam hatiku, "Pasti di balik cahaya itu tersembunyi negeri Iris." Aku yang sudah tak sabar kemudian berlari menuju cahaya itu. Bravo yang terkejut mengejarku, dan sambil berteriak, "Tunggu Radit, kau harus hati-hati dengan cahaya itu." Aku tak menghiraukan ucapan Bravo dan tetap berlari menuju cahaya tersebut. Tunggu dulu, aku malah tersedot dan dibawa entah kemana. Aku terlempar dari langit dan jatuh bebas.

~ooo~

Aduh, sakit sekali. Rasanya aku baru saja jatuh dari gedung pencakar langit. Rasanya aku hampir saja mati, jantungku masih berdegup kencang. Untung aku jatuh di tumpukan spons, tunggu dulu ini bukan spons. Ini adalah, jamur raksasa. Oh tidak, apakah ini Iris? Aku turun dan mencoba berjalan menyusuri hutan. Tak ada jalan setapak ataupun penunjuk arah, yang kupunya hanyalah kompas yang ada di cincin. Sesekali aku mencoba mencari tahu adakah yang tinggal di hutan ini, "Halooo...! Ada orang disini?". Tak ada jawaban sama sekali, kurasa memang tak ada yang mau tinggal di hutan seperti ini. Hanya suara serangga yang terus terdengar di telingaku dan sesekali burung-burung berkicau.

Matahri perlahan mulai bergeser menuju ufuk barat. Perutku yang keroncongan membuatku tak tahan. Banyak pohon dan buah-buahan disini, tapi tak satupun yang ku kenali. Ada yang berbentuk seperti apel tapi aneh sekali, ada yang berbentuk buah naga tapi malah seperti buah api. Aku terus berjalan mencari sumber air, terdengar suara gemericik seperti air terjun. Kelihatannya aku sudah dekat dengan sumber air.

~ooo~

Air disini begitu jernih, sepertinya di negeri ini masih alami dan tak ada industrialisasi. Segarnya air bersih, kuputuskan untuk bermalam disini sementara waktu. Kubangun tenda kecil dari ranting dan dedaunan. Untungnya daun-daun disini sangat lebar. Sepertinya tak ada binatang buas disekitar sini. Ku buat api unggun kecil untuk menghangatkan badan di malam yang cukup dingin. Aku mengandalkan ikan sungai untuk makan.

Saat aku hendak tidur, aku mendengar seperti suara langkah kaki. Suara itu semakin terdengar jelas dan sepertinya mulai mendekat. Aku bersiap dan waspada, barangkali ada binatang buas seperti singa. Aku mengintip disela-sela tenda, sepertinya dia penduduk sekitar. Ia mengenakan baju aneh seperti suku pedalaman. Memakai kain seperti sutra berwarna biru bercorak dengan topi kecil seperti kepala suku.

Aku mengambil sepotong ranting dan mencoba keluar untuk bertemu orang ini. Dia terlihat bingung. Dia menatapku dan berbicara dengan bahasa yang tidak kumengerti.

"Hu... Sisipa koa?"

"Emm.. Apa yang kau bicarakan?"

"Hu... Sisipa koa?"

"Sisipa koa? Hmm bahasa apa itu?"

Aku mencoba menjelaskan dengan isyarat bahwa aku tersesat dan tak tahu harus kemana. Tapi sepertinya dia tak mengerti apa yang ingin kukatakan. Dia berteriak, "Ga... Wea... Ga... Wea! ". Tiba-tiba dari arah belakang ada tali yang mengikatku dan orang itu menyentuh beberapa bagian tubuhku sehingga membuatku lemas dan pingsan. Aku tak berdaya dan entah kemana dia akan membawaku.

~ooo~

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 17, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

THE TRAVELERS : UTOPIA (Rehat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang