Sebuah Pertanda

19 7 0
                                    

"Tuh kan benar! " teriaknya dengan semangat.

"Sudah kubilang toko ini tak akan tutup sebelum kita datang." tambahnya.

Aku dan Jessy sampai di depan toko es krim. Toko ini memang memiliki daya tarik tersendiri bagi para penikmatnya. Sudah hampir 20 tahun bisnis toko ini dijalankan dan masih mampu mempertahankan rasanya yang begitu khas. Tak hayal jika toko ini selalu ramai dikunjungi.

Kami masuk dan langsung menuju meja pemesanan. Aku memesan es krim vanila blue, sedangkan Jessy tentunya es krim wak waw mix kesukaannya.

"Mbak es krim vanila blue satu sama wak waw mixnya satu ya." ucapku pada pelayan

"Dari miangas ke pulau rote, Woke!" jawab pelayan.

"Ke pasar beli kain katun, yeh malah pantun" sahutku.

Lalu kami mencari tempat duduk. Kebetulan di dekat jendela ada tempat kosong. Kami menunggu hampir 15 menit, ya wajar saja pasalnya keadaan toko tengah ramai dengan pengunjung. Sembari menunggu, aku kembali melihat foto foto yang kuambil tadi saat di taman bermain. Saat kulihat foto ketiga, aku tak sengaja melihat orang berpakaian aneh. Orang itu berpakaian seperti agen rahasia di film film. Mengenakan pakaian serba hitam dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Kulihat foto foto lain, ternyata orang itu masih ada ditempat itu dan kurasa dia melihat ke arah kamera. Di foto ke 20, aku melihatnya mulai meninggalkan taman bermain dan menuju ke belakang komedi putar. Jantungku tiba tiba berdegup kencang. Aku takut dia mengincarku.

Tak lama setelah itu, es krim yang kami pesan sudah datang.

"Akhirnya datang juga, hampir tua kita disini hahaha." ucap Jessy dengan gembira

Kami mengobrol dan bercanda ria sambil menikmatu es krim. Hari ini merupakan hari terindah di awal bulan.

***
Bel pulang berbunyi

Hari ini aku bebas dari Jessy. Selasa yang cerah sangat cocok untuk menghabiskan hari dengan komputerku. Saat melewati toko game, mataku tak bisa menahan diri melihat poster game terbaru. "Dralion" game terbaru yang sudah lama kunantikan. Namun sayang, uangku belum cukup untuk membelinya. Yah... Sudahlah aku akan membelinya nanti.

Aku mampir ke taman untuk bermain sebentar. Untungnya di kota ini masih memiliki tempat senyaman dan sesejuk ini. Taman ini sangat luas dan memiliki pohon pohon yang rindang. Sangat cocok untuk menenangkan diri. Banyak pula orang tua yang mengajak anaknya kesini agar tak terlalu candu dengan gawai mereka dan menjadi anak individualis. Dulu aku sangat sering bermain dengan ayah disini, tapi semenjak kejadian itu... Aku sudah tak memiliki teman bermain lagi. Aku hanya bisa mengingat dan membayangkan ayah ada disini.

Aku melamun selama beberapa saat dan seketika sebuah bola baseball menghantam wajahku.

"Hei! Bola siapa ini?! Dasar kurang aja." Aku berteriak marah sendiri.

Lalu datang seorang anak laki-laki menghampiriku dengan memasang wajah takut dan berkata, "ehh.. anu.... kak... " ia berbicara terbata-bata. Sepertinya ia tadi mendengar teriakkanku. "Anu.. itu.. Maaf itu bolaku, boleh kuambil kembali? hehehe."

Kupandang wajah anak itu dengan seksama. Sepertinya aku pernah bertemu dengan anak ini tapi dimana...? Ah entahlah, mungkin hanya perasaanku saja. Aku memasang wajah tersenyum dan memberikan bolanya kembali.

"Ini bolamu, oh iya siapa namamu?"

"Namaku... mm.. Roni kak"

"Boleh kakak ikut bermain?"

"Tentu saja boleh kak! Asyik!"

Aku memutuskan untuk ikut bermain dengannya karena kulihat ia hanya sendirian. Selain itu, aku juga dapat bernostalgia sejenak. Ini mengingatkanku pada ayah, setiap sore kami bermain baseball di taman ini. Ternyata Roni datang kesini bersama dengan kakak perempuannya.

"Kakak!!" teriak Roni memanggil kakaknya.Kakaknya menoleh dan terlihat begitu senang.

"Itu kakakmu Roni? Siapa namanya?"

"Iya kak, namanya kak Sarah"

Kami lalu menghampiri sarah yang tengah duduk di bawah pohon mangga. Sontak aku langsung berkenalan dengannya. Agak canggung memang, karena aku selama ini jarang sekali berkenalan dengan perempuan selain Jessy.

"Perkenalkan namaku Radit, tadi aku tak sengaja bertemu dengan adikmu yang sedang bermain bola baseball."

"Hai, namaku Sarah, Sarah O'neill. Maafkan adikku sudah merepotkanmu ya, maaf."

"Ah.. Tidak apa-apa, santai saja hehehe." jawabku dengan sedikit rasa tidak enak.

"Wajahmu memar, apakah adikku melempar bola ke wajahmu? Tolong maafkan adikku."

"Tidak..., aku tadi tak sengaja tersandung batu." elakku.

"Kau rupanya tak pandai berbohong, sini biar aku obati kebetulan aku ini sekolah di keperawatan." ucapnya sambil memaksa.

Aku tak bisa menolaknya. Ia pintar sekali memaksa orang. Walau dia hanya anak keperawatan, tapi rupanya ia memiliki kemampuan yang sangat mumpuni. Sembari ia mengobati lukaku, aku bertanya-tanya seputar dirinya dan keluarganya. Ternyata ia dan keluarganya baru saja pindah ke kota ini beberapa hari yang lalu.

Tak lama kemudian ia selesai. Aku mengucapkan terima kasih padanya dan segera pamit pulang. Sesampainya dirumah aku langsung menuju kamar dan menemui komputerku. Saatnya untuk bermain.

"Radit, ibu pulang." terdengar suara ibu dari luar kamar. Aku langsung keluar dan menemuinya.

"Selamat datang bu, bagaimana hari ini apakah lancar?" tanyaku sembari membuatkannya teh.

"Yah, begitulah. Semua berjalan seperti biasanya tak ada yang spesial."

Kami duduk di meja makan. Kebetulan ibu membeli beberapa makanan. Kami makan sembari bercanda. Walau hanya berdua tapi ini lebih dari cukup. Tiba-tiba terdengar orang mengetuk pintu. Aku bergegas menghampirinya. Ternyata itu kurir barang.

"Dengan kediaman Radit?" tanya kurir.

"Iya dengan saya sendiri, ada apa ya?"

"Ada paket untuk saudara Radit mohon diterima dan tanda tangan disini!"

Aku penasaran apa isi paket ini. Kurasa aku tak pernah memesan apapun. Ku letakkan paket itu di kamar dan akan ku buka nanti. Aku pun kembali melanjutkan makan dengan ibu.

THE TRAVELERS : UTOPIA (Rehat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang