Our Apartment [8]

Start from the beginning
                                    

Justin semakin mengerutkan kening.

Nicole meletakkan sendok dan garpunya, lalu menatap Justin serius. "Aku memang berpacaran cukup lama dengan Jean. Enam bulan? Atau tujuh? Aku rasa enam. Itu rekor terlama mengingat hubunganku dengan mantan kekasihku yang sebelumnya tidak pernah mencapai bulan kelima. Begitu putus dengannya, aku menangis. Seperti biasa." Nicole mengangkat bahu santai. Menangis setelah hubungannya dengan kekasih berakhir memang sudah hal biasa. "Aku memang sempat kesal, marah, bahkan ingin memukulinya ketika aku melihat dia tidur dengan asistennya. Tapi begitu aku bertemu dengannya, memutuskan hubungan kami, aku rasa saat itu semuanya juga berakhir. Termasuk perasaanku. Lalu aku kembali pada kehidupan normalku. Dan pada akhirnya aku sampai pada satu titik, bahwa ternyata aku tidak benar-benar mencintainya. Aku tidak benar-benar menyukainya hingga aku tidak merindukannya sama sekali, padahal enam bulan kehidupanku aku jalani bersamanya."

Justin benar-benar melongo mendengar penjelasan Nicole. Tidak menyangka sama sekali kalau gadis itu akan berucap demikian. Apa yang dikatakan Nicole memang tidak masuk akal sama sekali. Kalau dia memang tidak punya perasaan sama sekali pada Jean, kenapa dia bisa betah menjalani hubungan bahkan sampai enam bulan? Memecahkan rekor dengan kekasih-kekasihnya sebelumnya? Tapi mengingat yang berbicara adalah Nicole, dia percaya-percaya saja. Karena gadis itu memang sulit di tebak.

Nicole kembali memasukkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya. "Sepertinya yang aku katakan padamu ketika malam aku memergokinya tidur dengan asistennya, aku rasa alasan kenapa kami bisa bertahan cukup lama adalah karena kami cocok. Jangan pasang tampang menyeramkan itu," sungut Nicole ketika Justin menatapnya tajam. "Kami memang cocok dalam banyak hal. Makanan kesukaan, hobi, film, dan berbagai hal lainnya. Setelah aku pikir-pikir, itu tidak bisa dijadikan alasan untuk memulai sebuah hubungan. Tampaknya kami lebih pantas berteman. Bukankah begitu?"

"Terkadang, teman juga pantas kau jadikan kekasih," balas Justin datar.

Nicole menatap Justin malas. "Yah, kau memang tidak pernah setuju pada ucapanku."

Justin menyeka bibirnya dengan tisu, lalu bangkit dari duduknya. "Aku pergi dulu."

"Pergilah," usir Nicole sambil menandaskan susu cokelatnya. "Aku ingin menikmati masa liburku sebelum besok kembali bekerja." Kemarin siang Nicole mendapatkan email dari pihak sekolah yang menyatakan kalau dia di terima menjadi pengajar di tempat sekolahnya dulu tersebut.

Mata Justin menyipit. "Aku akan mengejarmu sampai ke neraka kalau apartemenku berantakan begitu aku pulang bekerja."

Nicole mengedipkan sebelah matanya. "Tenang saja Mr. Bieber. Aku akan menjaga apartemen kita dengan baik."

oOoOoOoOo

Nicole memasukkan password apartemen dengan buru-buru. Begitu tiba di dalam, dia segera mengganti sepatu kets-nya dengan sandal putih berkepala babi di depannya. Dia meletakkan bir yang di belinya di supermarket di lantai satu apartemen di atas meja makan.

Dia bisa tiba di apartemen lima menit lebih awal jika sang penjaga kasir tidak membuat masalah. Dia sudah terbiasa membeli bir disana, namun kali ini sang penjaga kasir adalah pegawai baru sehingga tidak mengenalnya. Sehingga pegawai wanita itu memaksanya menunjukkan kartu tanda pengenalnya yang tidak dia bawa sama sekali. Dia hanya membawa uang yang di berikan Justin, dan meninggalkan dompetnya.

"Pegawai itu benar-benar tidak percaya kalau aku sudah akan 24 tahun musim gugur nanti," gerutu Nicole sambil menuangkan bir dengan alkohol rendah itu kedalam gelas. Dia meneguknya dalam sekali tegukan. "Apa wajahku seperti remaja 17 tahun? Hah?!"

Justin terkekeh. Dia melirik wajah Nicole yang bersih dari sapuan make-up. Bahkan tanpa memakai pewarna bibir, bibir gadis itu sudah berwarna merah muda. Dia mendorong pelan kepala Nicole. "Seharusnya kau bersyukur wajahmu awet muda. Banyak orang yang ingin sepertimu. Kau tahu?"

Our ApartmentWhere stories live. Discover now