12- Bad memories

84.2K 6.8K 173
                                    

"Jika kita diciptakan untuk saling mengobati, kenapa tidak kita wujudkan?"

-

Zega diam sebentar, mencerna ucapan Ghea barusan, ada luka yang berusaha gadis itu sembunyikan, dan Zega tahu itu. tangan Zega bergerak ikut menggambar emoji tersenyum di jendela, bersebalahan dengan emoji Ghea. Ghea terkejut dan melirik wajah Zega.

"I know what you feel, keep smile."

Ghea menghembuskan nafas panjang. "Axel—"

Zega memotong cepat. "Panggil gue Zega," katanya, entah mengapa tapi dari awal bertemu dengan Ghea, Zega tahu dan merasakan bahwa ia nyaman bersama gadis itu. Tapi ... cuma nyaman kan? Cuma nyaman karena mereka memiliki luka yang sama kan? Semoga itu bener, karena Zega hanya ingin mereka saling mengobati luka masing-masing, bukan menambah luka.

"Oke, Zega," kata Ghea, "Jadi ... kita lanjut apa gimana?" tanyanya saat Zega tak kunjung beranjak, Ghea ingin segera mengakhiri cerita menyakitkan yang baru mereka bahas tadi. Dadanya terasa terhimpit sesuatu jika membahas tentang keluarganya.

Zega tersentak. "Oh." dia tersenyum kecil sampai-sampai Ghea mungkin tak tahu bahwa Zega sedang tersenyum. "Lo mau lanjut apa gimana?"

Ghea menimang-nimang, ia memandang kearah ujung tangga. "Boleh, kayaknya diatas sana ada tempat bagus."

Zega tersenyum. Lelaki itu bergegas kembali melangkah, diikuti Ghea dibelakangnya. Derap langkah mereka saling menyahut hingga sampai di loteng rumah. Hanya loteng rumah ini yang bersih dan nyaman, seperti yang Ghea tebak, disini sangat bagus dan dilengkapi banyak rak-rak yang terdapat banyak buku.

Zega duduk di atap rumah beralas kayu. Ghea mengikutinya ikut duduk di loteng atap. Keduanya duduk berdampingan di lantai kayu itu.

"Btw, nama elo Becania kan?"

Ghea terkekeh. "Becania Ghea Milenia, panjang kayak rol kareta ya? Tapi nama panggilan aku Ghea." jelas Ghea panjang lebar.

Kemudian hening. Zega merasa ada yang aneh. Gadis disampingnya seperti mirip Ghia, ketika ditatap lebih dalam, namun hanya sebagian kecil, karena mereka bener-bener tak mirip. Tapi ... mengapa dari awal bertemunya, Zega merasa seperti melihat Ghia namun dari versi yang lebih cantik dan lugu?

Semilir angin berhembus kencang membuat Ghea refleks menutup matanya. Merasakan kenyamanan yang entah mengapa begitu menyenangkan.

Zega melirik Ghea sambil tersenyum kecil, gadis berambut hitam panjang itu mungkin tidak sadar bahwa ia sedang diamati sehingga ia tetap melanjutkan aktifitasnya. Zega meneliti lagi wajah Ghea. Lama. Hanya, untuk memastikan dia mirip dengan Ghia. Namun, sepertinya tidak. Hanya sebagian kecil, mata mereka berbeda, mata Ghia tajam dan sedikit menusuk jika ditatap, sedangkan mata Ghea bulat dan nyaman untuk dilihat lama. Banyak hal tersimpan dimatanya yang sangat susah untuk dijelaskan.

Zega tersenyum, kemudian berbaring di lantai kayu loteng hanya dengan beralas lengannya.

Ghea membuka matanya, saat itu juga yang ia lihat hanyalah tubuh Zega yang sudah tidur disampingnya dengan beralas lengannya sendiri. Sedangkan satu tangannya didepan wajah, menghalau sinar matahari dari jendela didepan.

Bibir Ghea berkedut, tersenyum tiba-tiba. Merasa begitu bahagia untuk hal yang tak bisa dijelaskan.

Ghea melirik kesamping mereka lagi, melirik rak-rak buku tinggi yang sejak awal mencuri perhatiannya. Dia bergegas kesana.

Matanya meneliti buku-buku dirak itu, sedikit berdebu, namun tak bener-bener ditutupi debu. Ghea menyikapi debu-debu diatas sampul buku. Ghea melirik nama-nama penulisnya yang tertera disana; Agatha Christie, William Shakespeare, Jane Austen, etc. Ghea dengan cepat menuju rak Agatha Christie. Sangat menyukai semua buku karangannya.

Ghea meraih salah satu buku, hercule Poirot's Christmas. Oh God. it one of her favorite books, Ghea bahkan belum menyelesaikannya, karena besoknya ketika dia kembali ke perpustakaan umum, sudah hilang. Namun, gadis itu tetap mengingat sedikit kelanjutannya. Ghea bahkan mencari ke semua toko buku, namun sangat susah mendapatkannya.

Ghea meraihnya cepat, memeluknya erat sambil membawanya ketempat asalnya semula. Gadis itu duduk di lantai, membiarkan Zega yang masih terlelap disampingnya. Ia membuka buku itu dan menghirup aromanya sebentar, aroma buku tua yang sangat disukainya, kedua sudut bibirnya terangkat merasa bahagia. She really loves book.

Kemudian keduanya sama-sama hanyut. Zega hanyut dalam tidur nyenyaknya dan Ghea hanyut pada lembar demi lembar buku ditangannya.

Cahaya matahari berangsur-angsur menghilang, Ghea melirik ke arah jendela, dan warna oranye mengisi di langit. Astaga, sudah hampir malam. Sunset begitu indah, sebelum akhirnya hilang ditelan gelap.

Gadis itu bergegas menutup buku ditangannya yang baru ia baca beberapa halaman dan kembali menyimpan ke rak semula. Dia merobek kertas note dan mengambil pena yang kebetulan berada di atas meja deket rak buku.

Aku pergi dulu. Maaf gak sempat pamit.

Setelah selesai menulisnya dengan jantung yang bergemuruh hebat. Ghea segera kembali ke tempat asalnya tadi. Tangannya bergerak ingin menaruh kertas tersebut disamping tubuh Zega, tapi sebuah tangan mencengkram lengannya pelan.

Kedua iris hitam itu saling bertumbuk dalam waktu yang cukup lama, hingga akhirnya sebuah kalimat terucap dari bibir Zega dalam dan penuh perhatian.

"Lo pulang bareng gue."

***

Ghea [PROSES PENERBITAN]Where stories live. Discover now