08- Damn!

88K 6.8K 614
                                    

"Why we don't rewrite the stars?"

-

"Axel," panggil Ghia lembut saat melihat cowok itu melangkah mendekatinya. Senyum sumringah terpancar di wajahnya. Semua orang di pesta bergegas melirik Zega, saat Ghia menyebutkan namanya.

Bisik-bisik terdengar, mengatakan kalau mereka begitu serasi.

Zega sampai didepan Ghia. Dia menyodorkan kado berpita hitam itu yang langsung diambil Ghia dengan cepat. Sedangkan Daffa yang berdiri disamping Ghia diam-diam berdecih tak suka.

"Happy birthday." Zega berujar singkat.

"Thanks, and thankyou for coming," kata Ghia semangat, semua orang menyadari bahwa cuma Axel yang mendapatkan terimakasih dari Ghia karena datang.

"Aw, you both look cute together," teriak Jasmine.

Seketika Ghia menunduk, menatap gaun gold-nya, sedikit malu. Apalagi sekarang sedang banyak orang. Sedangkan Zega mengernyit, kenapa dia justru menjadi fokus perhatian semua orang.

"Gue—" ucapan Zega terputus saat ponselnya berdering.

Lelaki itu permisi dan menjauh sejenak.

"Kenapa, ma?" tanya Zega pada sambungan telepon diseberang sana.

"Zega? Maaf mama ganggu waktu kamu, tapi Clea ... Clea nggak ada dirumah..."

***

Zega muncul lagi, kali ini dengan tergesa-gesa, lelaki itu menghampiri Ghia didepan sana. Sejak awal mereka seperti menjadi sorotan semua orang saja.

"Aku mau kasih kamu potongan kue-"

Zega memotong ucapan Ghia cepat, "Sorry gue harus pergi sekarang," kata Zega.

Ghia mengeleng egois, "Aku cuma mau kasih kamu suapan ketiga. Dan .. aku gak mau tahu." Ghia memandang Zega yang langsung bergegas pergi. Potongan kue ditangannya jatuh berserakan di lantai, sampai terkena gaunnya. Ghia tersenyum piluh, rasanya sesuatu di dadanya begitu perih.

Daffa yang berdiri di samping Ghia bergegas ingin memberi Zega pelejaran, tapi Ghia mengeleng sambil memegang erat tangannya.

Ghia melanjutkan memotong kue, yang pertama sudah untuk mama-nya, kedua untuk papa-nya, ketiga untuk Zega tadi tapi sudah kandas. Dan sekarang potongan kue keempat dan memberikannya kepada Daffa. Susana kembali mencair, setelah pertikaian kecil itu.

"Dia siapa?" tanya Martin—papa Ghia pada putrinya. "kenapa gak mau nerima kuenya? Dia anak siapa? Orangtuanya kerja apa?"

Ghia menatap Papahnya. "Please, pa."

Papahnya menganguk, walaupun kesal setengah mati dengan tanggapan cowok tadi kepada putrinya.

"Lanjutin aja, pestanya Ghia. Papa mau ke atas dulu," kata Martin sambil berjalan menuju lantai atas.

Sedangkan, Anita—ibu Ghia, hanya menatap putrinya sambil tersenyum menenangkan.

***

Ghea menguap lebar. Mengunci pintu kamarnya erat, walaupun suasana malam ini sangat ramai karena sedang diadakan ulang tahun Ghia, tapi, hatinya terasa begitu sepi.

Gadis itu tersenyum piluh sebentar. Bergegas ke balkon kamarnya yang kecil, berbanding terbalik dengan milik Ghia yang luas dan megah. Ia menarik, kursi plastik yang selalu ia sediakan disitu, sambil membawa satu kotak kue tart yang ia dapatkan dari bawah, sambil mengambil lilin yang tak terpakai. Ghea menatap kuenya sebentar, sambil memejamkan matanya dan membuat wish, setelahnya Ghea meniupnya pelan, sambil berbicara lirih.

"Happy birthday to me..."

Setelah selesai, Ghea memotong kue tersebut dan memakannya, saat sedang memakan kue itu, matanya menemukan seorang cowok keluar dengan tergesa-gesa, setelah itu ia masuk ke sebuah mobil dan melesat pergi.

Ghea mengernyitkan keningnya aneh. Bukankah pestanya belum selesai?

Gadis itu menatap lurus cowok didepannya ...dia kenapa? Ghea bertanya-tanya. Pandangannya terus mengikuti Zega sampai bener-bener menghilang.

***

"Lea," gumam Zega cemas sembari menatap kelayar ponselnya yang sedang menghubungi nomor adiknya itu, tapi tidak aktif.

"Lo dimana, sih?" rutuknya cemas.

Mamanya yang duduk di sofa samping Zega hanya terdiam berusaha menahan tangisan kecemasan. Setelah, mendapatkan telepon tadi, Zega buru-buru meninggalkan pesta ulang tahun Ghia dan segera pulang kerumahnya.

Kamar adiknya kosong, semua nampak biasa-biasa saja, tak ada keganjalan disana. Hanya saja ... Pemilik kamar tersebut tidak ada padahal sudah pukul dua belas malam sekarang.

"Lea kemana Ze? Kenapa dia pergi nggak pamit sama Mama?" Diana semakin gelisah.

"Mama tenang dulu," kata Zega. Lelaki itu memasukan ponselnya kesaku. Berniat pamit mencari Clea diluar rumah.

Namun, pintu rumah berdecit terbuka. Refleks, Diana dan Zega mengangkat kepalanya, melihat siapa yang datang.

Clea datang sambil bergandengan dengan Dinda. Tangan keduanya memegang banyak paper bag, raut bahagia menghiasi wajah keduanya. Melihat itu membuat emosi Zega naik, sedangkan Diana tiba-tiba merasa sakit.

"Clea?" ujar Zega tak percaya.

"Kakak?" sahut Clea tanpa dosa. "Katanya, mau ke ulang tahun temen kok udah pulang?"

Zega membuang nafas kasar. "Kamu pikir ini jam berapa?"

Clea melihat jam tangan putih di pergelangan tangannya. Ia menutup mulutnya tak percaya. "Jam dua belas?" beonya tak percaya. Dia meringis. "Maaf, tadi Clea lupa bilang, Clea diajak ke butik Tante Dinda, Mama tadi mandi, terus Tante Dinda—"

Ucapan Clea terhenti ketika Diana memutar tubuhnya dan berlalu cepat menaiki anak tangga. Rasa cemasnya hilang dibakar emosi, melihat anak gadisnya pulang dengan orang yang menghancurkan keluarganya.

Rasa kecewa, menjurus hati Clea. Tiba-tiba merasa begitu bego, saat melihat wajah kecewa Diana. Gadis itu bergegas mengejar Diana.

"Ma, maafin Lea, Lea nggak maksud—" namun suara pintu yang ditutup kencang, membuat Zega paham. Semuanya butuh waktu sekarang.

Dinda berdehem.

"Lo bisa berhenti?" mata elang Zega menatap Dinda yang terlihat bahagia, tak merasa bersalah sama sekali. "Apa ada yang masih kurang setelah semua ini? Gue harap setelah semua ini, lo bisa sedikit lebih sadar diri."

Dinda tersenyum, penuh arti. "Kamu salah paham, Axel. Aku cuma mau dekat sama kalian—"

Zega memotongnya. "Get out of here now."

***

Ghea [PROSES PENERBITAN]Where stories live. Discover now