Bintang di Langit Utara

90 6 0
                                    

"Ada jarak semakin nyata tercipta antara kita ketika sebuah surat undangan bertuliskan namamu namanya yang kau layangkan padaku.”


“Kamu yakin akan datang ke acara nikahannya?”

Pertanyaan Keni menyadarkan lamunan sesaatku. Mataku yang sedari tadi memandang kosong ke arah kejauhan pantai, kini beralih menatapnya. Laki-laki penyuka es krim yang baru kukenal tiga minggu lalu itu menampilkan wajah penuh tanya setelah meletakkan undangan pernikahan berwarna cokelat ke atas meja, lalu kembali memasukkan es krim kelapa ke dalam mulutnya sembari menungguku untuk bicara.

“Ya, begitulah. Mau bagaimanapun  dia adalah temanku,” kataku akhirnya setelah menghela napas dalam.

Masih belum kusentuh es krim kelapa yang benar-benar diletakkan di dalam batok kelapa muda dan diberi banyak toping di atasnya. Padahal sama seperti Keni, aku pun sangat menyukai es krim. Pertemuan pertama kami juga terjadi di kedai es krim yang terletak di jalan Sutoyo, tak jauh dari Museum Bengkulu.

Saat itu, ia tak mendapat tempat duduk. Melihatku sendirian dengan satu kursi kosong di depanku, ia pun tersenyum sambil memegang kepala kursi, seolah meminta persetujuan. Entah pikiranku yang tidak fokus karena mengerjakan laporan bulanan atau karena senyum Keni yang menurutku saat itu sangat manis, aku mengangguk mantap. Lalu kami pun berkenalan. Mengobrol yang berakhir saling bertukar nomor ponsel.

Aku janji akan mengajaknya ke tempat wisata yang ada di Bengkulu, mengingat ia baru saja tiba dari Jakarta dan ingin menetap untuk beberapa lama sekaligus menemani neneknya yang sudah tua tetapi masih tampak muda. Ya, ia entah apa yang dipikirkannya saat itu, malah menunjukkan foto neneknya padaku. Hal yang cukup jarang dilakukan oleh orang yang baru saja kenal. Namun, belakangan aku mengerti, karena faktanya Keni adalah orang yang supel dan mudah bergaul. Ia bisa langsung akrab dengan seseorang bahkan sebelum saling menyebutkan nama.

“Sekaligus mantan, ya.”

Keni tertawa renyah, diikutiku yang malah tertawa kecut. Tak tahu, saat mendengar kata ‘mantan’ hatiku rasanya seperti tertusuk duri tak kasat mata. Nyeri.

“Eh, kenapa? ‘Kok ketawanya kayak gak lepas gitu? Masih suka baper, ya?”

“Enggak, ‘kok!”

Kumasukkan es krim yang telah mencair ke dalam mulut sambil memberengut setiap kali Keni berhasil menggodaku. Laki-laki dua puluh empat tahun itu memang paling pintar membuat perasaan orang tak menentu. Aku ingat, ia pernah mengaku menjadi pacarku saat minggu lalu kuajak ke rumah nenek di Curup. Yang parahnya, nenekku menyetujui saja sambil tersenyum-senyum senang. Belum lagi aku kebagian digoda oleh sepupuku. Menyebalkan sekali.

Untungnya saja setelah itu, ia mentraktirku makan bakso, jika tidak, sudah pasti aku akan memasang wajah masam sepanjang perjalanan pulang menuju Bengkulu. Terkadang Keni benar-benar keterlaluan. Sedikit menyesal aku berkenalan dengannya.

Ingin rasanya menjauh darinya, tetapi aku masih memiliki janji untuk mengajaknya mendaki Bukit Kaba. Minggu lalu, yang memang hari liburku, kami hanya mengunjungi Danau Mas Bestari, Suban Air Panas, dan mampir ke taman bunga yang terletak tak jauh dari kawasan danau. Belum lagi ke daerah Bengkulu utara, selatan, bahkan Rejang Lebong yang juga memiliki banyak tempat wisata bagus.

“Mau kutemani?”

Suara Keni melunak. Matanya yang teduh dan bening layaknya telaga tak terjamah tangan manusia itu menatapku dalam. Ada sebuah penyesalan di sana.

“Bukannya hari Minggu jadwal kita jalan-jalan? Lagian aku sudah janji padamu kalau minggu depan kita akan ke air terjun dan kebun teh di Kepahiang. Aku bisa malam aja ke rumahnya untuk ngantar kado, ngobrol sebentar lalu pulang.”

Semesta KisahWhere stories live. Discover now