Pengakuan

6 1 3
                                    


Sebuah foto tiket kereta api kuterima darimu pagi ini dari pesan whattshap. Lengkap dengan kalimat pendek tertulis di bawahnya; Jogja, im coming. Mau bikin orang kesel dulu.

Persis seperti kalimatmu, aku pun langsung kesal. Tentu saja, aku yang sering bercerita tentang Jogja, tetapi malah kamu yang lebih dulu pergi ke sana. Tanpa bicara sepatah kata pun pula.

Ah, pagi yang kuawali dengan semangat lantaran baru saja menerima pemberitahuan dari pihak online shop bahwa sepatu pesananku akan tiba siang nanti, mendadak berubah. Namun, sebuah pesan baru darimu kembali mengubah suasana hatiku: "Aku akan membelikan kain batik spesial untukmu. Sidomukti."

Tanpa membalas pesan darimu, aku langsung menelepon. Tak puas rasanya jika berbicara lewat jari saja.

“Hei, serius nih? Sama siapa?”

“Seriuslah. Sendiri. Mumpung libur kerja, seminggu,” balasmu riang.

Aku tahu kamu, setelah ini pasti kamu akan memanas-manasiku untuk ambil cuti kerja beberapa hari dan menyusulmu ke sana. Namun, tempat kerjaku tidak seenak tempat kerjamu di ibu kota sana. Untuk libur satu hari selain jadwal libur pun aku harus meminta izin satu minggu sebelumnya. Sangat tidak menyenangkan.

Kamu pun sering pula mengatakan untuk pindah kerja saja. Akan tetapi, mencari pekerjaan di zaman sekarang sangat sulit. Apalagi mencari pekerjaan yang tidak menguras tenaga dan waktu seperti saat ini.

“Ayo, kamu kapan mau ke sini, Fat?”
Nah, seperti kataku, kamu melakukannya!

“Gak tau. Udah ah, jangan tanya-tanya. Pokoknya kamu harus belikan aku oleh-oleh. Bulan depan ulang tahunku, lho.”

“Iya, aku tau. Ya udah aku tutup dulu, laper. Mau cari makan sebelum berangkat.”

“Eh, tunggu!” cegahku, membuatmu tak jadi menyudahi percakapan pagi ini.

“Apa lagi?”

“Aku titip nama.”

“Hah? Maksudnya?”

“Iya, aku titip nama. Nanti kamu tulis namaku di kertas, trus kamu foto deh dengan  latar Jogja. Oke? Aku tunggu, ya.”

“Dasar, selalu seenaknya memutuskan.”

“Please, Dhar.”

“Iya, iya. Dasar Fatha. Ya udah aku tutup.”

“Eh, bentar. Nama penaku, ya.”

“Nama penamu apa? Aku gak ingat, cuma ingat namamu doang. Fathara Fi Inhari.”

“Fefeyi. Ya udah, bye.”

Klik.

Kuputuskan sambungan telepon, kemudian mencharger gawai yang dihias manik-manik berwarna biru yang kubeli di pasar malam setahun lalu bersamamu. Wajahku kembali ceria. Kamu memang satu-satunya orang yang bisa mengubah suasana hatiku dalam tiga detik. Bertemu kemudian menjadi temanmu adalah hal yang paling kusyukuri. Sebab, tidak banyak orang asyik dan enak diajak ngobrol kutemui di dunia nyata.

Aku sempat berpikir untuk mencari laki-laki yang juga asyik sepertimu untuk dijadikan teman hidup. Namun, sampai hari ini—menjelang seperempat abad usia—aku belum juga menemukannya. Padahal hampir setiap hari Ibu selalu bertanya ‘kapan ingin ajak kawan ke rumah?’.

Ah, boro-boro membawa kawan yang beliau maksud sebagai gebetan, mengajakmu ke rumah saja aku tidak mau. Takut nanti jika Ibu berkata yang tidak-tidak. Seperti; Kapan rencananya?

Pertanyaan paling tidak menyenangkan. Sama sepertimu yang jika terlalu iseng sering bertanya pula. Padahal kamu sendiri yang usianya dua tahun di atasku juga belum menemukan seseorang yang bisa diajak ke pelaminan. Alasanmu sama; ingin menikmati hidup.

Aku pun begitu, hanya saja cara kita menikmati hidup berbeda. Kamu dengan alam, dan aku dengan kesukaanku terhadap hal-hal yang membuat hati bahagia dan mendengar ceritamu. Kita sama-sama berusaha menciptakan kebahagiaan sendiri, tanpa pernah ingin melibatkan orang lain lebih jauh. Dan kurasa itu alasan paling utama kenapa belum menikah.

Namun, katamu waktu itu, tidak ada yang salah dari menikah yang sedikit terlambat. Yang penting bahagia dan aku bisa menikmati juga mensyukuri hidup yang telah diberikan Tuhan. Aku setuju. Sebab bagiku kebahagiaan adalah hal utama, bersama atau tidak bersama dengan orang yang dicinta.

♥♥

Tepat seminggu setelah liburanmu di Jogja, sebuah paket datang ke rumah. Berasal dari Jogja, dan aku tahu siapa pengirimnya meski di sana tertulis ‘Pangeran Pencari Cinta Sejati’. Konyol!

Setelah menerima paket dari tangan Ibu, aku bergegas masuk ke kamar untuk membukanya. Tak sabar ingin melihat hadiah apa yang kamu kirim. Semoga saja benar kain batik yang kumau, atau mungkin dengan baju sekalian. Tak butuh waktu lama untuk merobek paksa kertas pembungkus kardus itu. Dalam hitungan detik, paketmu telah kubuka dan kertasnya berserakan di lantai kamar.

“Wah.”

Ya, aku cukup terkejut dengan oleh-oleh yang kamu kirim. Selain kain batik motif sidomukti, kamu juga mengirimkan kebaya putih lengkap dengan selendang juga sandal flat berwarna putih pula. Sepucuk surat kamu sisipkan di kotak kecil berisi bros bunga melati.

Untuk Fathara Fi Inhari,
Saat kamu baca surat ini, itu artinya kamu telah menerima hadiah dariku. Semoga kamu suka, dan ya sejujurnya kamu harus suka. Karena mencari baju untuk ukuran tubuhmu itu sulit. Aku harus melihat cewek-cewek lalu mengingat-ingat badan mungilmu itu. Sialnya aku dikira orang mesum!
O iya, saat kamu baca surat ini, aku sudah pergi. Tapi kupastikan untuk datang ke rumahmu secepatnya dan mengajakmu mengunjungi Jogja. Mengunjungi Hema—tokoh yang kamu sukai dan jujur membuatku cemburu.
Tunggu aku, Fat. Eh, jangan deh, aku takut kamu bosan. Pokoknya kamu nikmati saja harimu saat tak ada aku, dan cobalah mengenal lebih banyak lagi orang. Percayalah, tidak semua orang itu tidak menyenangkan.

Salam kasih,
Dharmapala

Aku termangu untuk beberapa saat lamanya. Sebelum akhirnya sadar untuk mengambil gawai dan mengubungimu. Namun, seperti yang kamu katakan. Entah kenapa nomormu tidak aktif. Kamu hilang begitu saja.

Dan aku tiba-tiba merindukan.

Semesta KisahWhere stories live. Discover now