Potret(mu)

24 2 2
                                    

Dalam pelarianku kali ini, kota kecil di salah satu Pulau Sumatera menjadi tempat tujuan yang sejak lama kurencanakan setelah kalimat pisah terucap begitu saja dari bibirmu. Sembari mengumpul uang, aku belajar mengikhlaskan pilihanmu untuk hidup dengannya. Sedikitnya aku sadar, perempuan tidak melulu mencintai karena sebuah lagu pun puisi, tetapi juga membutuhkan laki-laki yang dapat menghilangkan ragu di hatinya.

Namun, melupakanmu nyatanya tak semudah apa yang dikatakan teman-teman. Bahkan lebih pahit ketimbang kopi yang disuguhkan Mbok Inem—perempuan tua yang memiliki kedai bandrek di mana pertama kali kita bertemu. Padahal kautahu, kopi Mbok Inem adalah kopi terenak di Bandung. Mungkin mengalahkan kedai-kedai kopi ternama. Entahlah, aku belum pernah ke sana, dan tidak sempat mengajakmu ke sana.

Kamu suka kopi, puisi, lagu-lagu romantis, dan buku-buku yang bisa membuat hatimu teriris. Namun, untuk pasangan hidup, kamu lebih suka pada kenyataan bahwa kekasihmu kelak bukan hanya orang yang memberimu kenyamanan dan kebebasan untuk menyukai apa yang kausukai, tetapi juga orang yang bisa mencukupi. Dan katamu, aku tidak demikian.

Padahal saling melengkapi seperti yang kita lalui selama setahun lebih juga sangat berarti dalam sebuah hubungan. Namun, nyatanya kau memilih pergi setelah lebih dulu mengisi penuh hatiku oleh namamu.
Ah, kurasa lagi-lagi aku kalah jika sudah menyangkut materi.

Sekarang, aku pun tengah berusaha mengeluarkan kenangan-kenangan yang pernah tercipta dengan cara menuliskannya menjadi sebuah lagu pun puisi. Kelak, jika tak ada lagi yang bisa kuceritakan tentangmu pada dunia, aku baru percaya bahwa aku benar-benar telah melupakan dan mengikhlaskan perasaan.

Jadi, kamu tenang saja dan tidak perlu menyuruhku untuk berhenti. Sebab kelak pada masanya, aku akan berhenti sendiri tanpa kamu pinta.

♥♥

Kedatanganku ke kota tempat Bung Karno diasingkan bertepatan dengan Festival Bumi Rafflesia. Di beberapa tempat ada banyak sekali spanduk berisi kegiatan yang diadakan. Namun, aku tak cukup peduli, kecuali dengan salah satu agenda yang diadakan; festival culture coffee.

Seperti yang kamu tahu, kopi dan gitar adalah kekasih keduaku setelah kamu, dulu.

Dengan ransel biru dan gitar di punggung, aku berjalan menyusuri jalanan Pantai Panjang, pantai yang terkenal di Bengkulu. Juga menjadi salah satu tempat yang ingin kudatangi selain rumah pengasingan Bung Karno dan rumah istrinya, Ibu Fatmawati.

Langkahku terhenti pada sebuah kedai kopi pinggir pantai. Kedai Kopi SLE, tulisannya. Ini juga yang menjadi keinginanku sebagai penikmat kopi untuk mencicipi salah satu kopi khas Bengkulu yang kutemukan di pencarian google. Kopi rempah yang beda dari kopi lainnya. Saat memasuki kedai kopi ini, aroma kopi yang menguar dari adukan seorang gadis di sudut ruang membuatku terlena. Aku melangkah masuk dan langsung memesan kopi rempah pada laki-laki paruh baya yang berdiri di belakang meja racik. Kemudian memilih duduk di belakang gadis yang kini tampak asyik dengan kameranya.

Dari sini suara debur ombak yang beradu dengan kendaraan sangat jelas terdengar, dan itu menjadi lagu tersendiri bagi seorang perindu sepertiku.

Tak lama kopiku datang. Aromanya sungguh memabukkan. Seolah membawakan ke langit ke tujuh di mana bidadari bermukim.

Bersama debur ombak, awan berarak, dan suara angin membelai daun cemara, sedikit banyak aku tidak mengingatmu. Gitar yang menjadi peneman sepi selain kopi rempah adalah proses untuk melupakanmu. Meski terkadang bayangan samar tentang kita terlintas begitu saja.

Hari-hari selama di kota ini kuhabiskan untuk mengunjungi berbagai tempat wisata. Aku juga tak cukup repot mencari tempat untuk tidur. Pemilik kedai kopi yang sempat kuajak mengobrol membolehkanku tidur di kedainya. Tawaran yang sangat menarik, hitung-hitung menghemat pengeluaran.

Semesta KisahWhere stories live. Discover now