Di Kafe ini Kita Bertemu (Kembali)

12 1 0
                                    


“Sejak kehilangan rasa, kau merasa menjadi makhluk Tuhan paling dewasa.”


Gerimis mengundangmu untuk mendatangi kafe ini, tempat pertama kali kau berjumpa dengannya dalam keadaan paling mustahil yang pernah kaupikir. Dalam anganmu selama mengenal laki-laki, kau mungkin akan tak sengaja bertabrakan seperti di sinetron-sinetron yang kau tonton bersama ibumu selepas makan siang, atau ketika kau menatapnya seolah mengenal padahal tidak, atau ketika seseorang itu memiliki rupa yang sama seperti seseorang yang kaukenal dan kau salah mengira. Ya, bisa jadi seperti itu awal perkenalan. Namun, nyatanya Tuhan membuat rencana lain yang harus kauakui lebih cemerlang dari apa otakmu yang sejatinya milik-Nya itu pikir.

Di kafe ini, kau memesan kopi arabika yang dipanen langsung di desa kelahirannya. Yang katanya pula adalah minuman pertama yang diminumkan ibunya setelah air susu. Kau mengangguk saja waktu itu, sebab kau pun sama. Mungkin hampir semua perempuan yang telah menjadi ibu berpikiran sama.

Hanya kopi tanpa teman yang kaupesan. Karena bagimu sepi adalah satu-satunya teman paling manis ketimbang cake berlapis yang ditutupi whippecream kesukaannya dan tidak pernah menjadi kesukaanmu.

Alunan merdu suara penyanyi di sudut kafe membuatmu semakin tertarik ke dalam pusaran masa lalu. Kala kau dan dia masih sama-sama menyempatkan waktu untuk bertemu. Sekadar meminum secangkir kopi yang diikuti obrolan tak penting, tetapi selalu kauingat, atau memang sengaja makan malam yang diakhiri ‘selamat malam’ di muka rumahmu yang bercatkan hijau daun, warna favoritnya, akunya saat pertama kali bertandang.
Kau tersenyum tipis sebelum akhirnya benar-benar tenggelam ke dalam memori paling kelam sepanjang perjalanan kehidupan masa mudamu.

♥♥


“Aykayat,” ucapmu menyebutkan nama setelah dia menyodorkan tangan.

Tampak jemarinya yang tidak panjang, berisi, dan terkesan telah melewati hari-hari panjang kehidupan. Kulitnya tidak lebih gelap dari wajahnya yang terbakar matahari, dan kau mengakui bahwa ini salah satu jenis kulit eksotik yang dikagumi orang-orang terhadap pribumi. Termasuk kau. Meski sejatinya kau lebih menyukai laki-laki berkulit putih mulus tanpa bekas luka atau tinta bergambar. Sebab kau bercita-cita memperbaiki keturunan ketika menikahi laki-laki yang kau idam-idamkan sejak tergila-gila pada artis dari Negeri Ginseng itu.

“Aykayat? Nama yang unik,” komentarnya yang hanya kau tanggapi dengan senyuman kecil.

Ya, kau memang tidak berniat tersenyum hari itu. Ada banyak masalah di tempat kerjamu pagi tadi sebelum kau berangkat ke kafe yang memiliki nama seperti nama ibumu, Srikandi. Entah apa yang ada di benak pemilik kafe ketika memutuskan untuk memberi nama kafenya 'Srikandi'. Mungkin dia menyukai tokoh wanita dalam pewayangan, sama sepertimu yang menyukai Arjuna, nama yang tadi disebutkan laki-laki di depanmu.

“Dari mana, Mbak?” Laki-laki dengan senyum segarisnya itu bertanya lagi, membuatmu canggung seketika.

Kau tidak terbiasa bicara terlalu lama kepada lawan jenis, lebih-lebih yang menyinggung pribadi. Menurut hematmu, harga diri bisa saja jatuh. Entahlah, kau bahkan terkadang lupa meletakkan harga dirimu di tempat yang seharusnya. Seperti di tempat kerjamu misalnya. Supaya tidak ada lagi teriakan dari bilik sebelah, tempat bosmu berada dan memerintah seenaknya.

“Dari rumah.”

Kau hanya membalas pendek, sebab memang tidak ingin bicara dan tidak sabaran menunggu seminar dimulai. Yang kata Arjuna tadi seminar diundur dari jam yang sudah ditentukan di awal brosur, dan kau tidak mengetahuinya lantaran tidak mendapat pemberitahuan dari pihak panitia selepas tiga hari pertama kau mendaftar. Dan laki-laki di depanmu sepertinya tidak berniat meminta maaf atas kelalaian rekannya. Namun, kau tidak cukup peduli, setidaknya ruangan yang kau tempati saat ini sejuk karena AC, hanya keberadaannya saja yang membuatmu tidak nyaman.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 01, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Semesta KisahWhere stories live. Discover now