Melipat Jarak (Saat Aku Memilih Melupakanmu)

30 1 0
                                    

Mudah saja bagi seseorang untuk memaafkan, tetapi akan terasa sulit jika sudah menyangkut ‘melupakan’. Ada jeda bernama sembuh yang diam-diam ia taruh.
(Bagian: Catatan Hidup Ai)


Tidak ada yang berubah dari kedai SLE ini, masih tetap tenang dan nyaman seperti pertama kita bertemu—tanpa sapaan ‘hai’ seperti seharusnya, kamu duduk di depanku, menyodorkan kopi hitam dengan wangi rempah yang khas, lalu kita bicara seolah kawan lama yang dipertemukan waktu.

Interior sederhana yang dibuat sedemikian rupa apiknya—styrofoam yang disusun di bagian langit-langit, juga sisi dinding kafe dan diberi hiasan ranting kering, daun, serta tangkai kelapa kering—tetap membuatku betah berlama-lama di sini—bukan untuk mengenangmu. Aku hanya mengingatkan diri sendiri bahwa dulu pernah ada tawa yang sama-sama kita perdengarkan dan membuat orang sekitar cemburu. Juga kenang yang tercipta begitu saja tanpa ragu.

Kopi SLE masih menjadi menu favoritku sampai hari ini—setelah enam ratus tujuh puluh sembilan hari kita berpisah. Lagi, bukan karena aku ingin mengenangmu, bukan. Akan tetapi, entah bagaimana kamu mampu menyihirku untuk menyukai pula apa yang kamu sukai. Setidaknya sampai hari di mana kita terakhir kali kemari.

Desir angin pantai yang beradu mesra dengan ranting cemara, menjadi lagu peneman sepi tak berkesudahan sejak mendudukkan diri di sudut meja, tempat paling favorit di mana aku bisa melihat apa yang dilakukan orang-orang. Tentu saja bukan tanpa alasan. Aku butuh hiburan kecil untuk puisi-puisi yang masih saja kutulis tentang kita dulu. Perayaan sederhana setelah sekian lama menjadi debu di tempat sama; ingatan.

Namun, kali ini ada yang berbeda. Aku melihatmu berdiri di depan pintu masuk yang tak memiliki pintu. Entah karena tiba-tiba saja pemilik kedai menyebut namamu hingga aku tiba-tiba pula mengingat rupamu, atau itu benar-benar kamu adanya. Entahlah. Aku memilih diam, mencoba mengusir bayangmu di benakku. Sampai akhirnya suara familier itu memusnahkan apa yang kusangka sebelumnya.

Itu benar kamu!

“Apa kabar, Qin?”

Baiklah. Harus kuakui, untuk sesaat aku lupa caranya bernapas, dan entah mengapa mataku pun menjadi panas. Kamu lagi-lagi berhasil membuatku terpojok dalam waktu seperkian detik.

Namun, beruntung tak lama setelahnya, aku mampu mengusai diri. Setidaknya aku tetap ingin terlihat baik-baik saja di hadapanmu. Terlebih dengan keberhasilanku sekarang menjadi penulis, juga seorang pemilik kafe buku nomor satu di Bengkulu—seperti impian yang pernah kuceritakan padamu, dan kamu yang langsung bersedia menjadi pasangan paling setia untuk menemani dalam pembangunan. Yang pada akhirnya aku menerima kenyataan bahwa kamu mendua.

“Baik. Kamu sendiri bagaimana? Oh, tentu saja baik, bukan?”

Aku tersenyum tipis, sebisa mungkin menjaga ekpsresi agar kamu tidak merasa tidak enak atas perbuatanmu dulu.

Kamu duduk di depanku, sama seperti waktu itu, lalu membalas, “Kurasa tak sebaik kamu.”

Aku tak menjawab. Sebaliknya kutatap wajahmu yang tampak kuyu, tidak seperti dulu yang di mataku terlihat begitu tampan dan lugu. Pipimu yang menyembunyikan tulang pipi itu, kini malah menunjukkannya secara terang-terangan. Rambutmu pun rasanya tidak lagi diberi pomade seperti biasanya kamu keluar rumah. Bahkan, aku tidak mencium aroma parfum yang sama.

Hanya wangi kesedihan yang bisa kutangkap darimu saat ini. Namun, ‘ada apa?’ bukanlah pertanyaan yang ingin kutanyakan. Sejak hari di mana aku merasa sembuh, aku telah mencoba untuk tidak pernah ingin tahu lagi tentangmu seperti saat-saat pertama luka terasa begitu perih.

“Kamu makin cantik, Qin. Wajahmu lebih cerah dari sebelumnya.”

“Terima kasih.”

“Kamu sudah menikah?”

Semesta KisahWhere stories live. Discover now