Perempuan yang Ingin Menikahi Hujan

18 1 0
                                    


Setiap Kamis menjelang pukul lima sore, seorang perempuan mengenakan selendang berwarna senada dengan dres yang dikenakannya datang ke kafe di pinggir Jalan Flamboyan. Ia akan memesan secangkir cokelat panas atau kopi serta camilan sesuai suasana hati. Kemudian duduk di salah satu sudut kafe yang paling dekat jendela, di mana pohon flamboyan berjajaran di sepanjang jalan. Kala bunga berwarna merah itu bermekaran, pemandangan tampak lebih cantik layaknya sakura di Jepang dan perempuan itu lebih betah duduk berlama-lama sambil memandang flamboyan yang disorot sinar matahari sore.

Selain menatap ke luar jendela, ia akan terlihat sibuk dengan catatan kecil yang selalu disematkan di dalam tas selempang dengan motif bunga daisy. Pena bambu dengan banyak ukiran menjadi salah satu ciri khas lain darinya.

Kehadirannya yang mencolok membuat karyawan dan pemilik kafe itu hafal meski tidak mengetahui namanya. Bukan enggan bertanya dan menjadi akrab ketika ada seseorang yang secara tidak langsung mengunjungi kafe secara rutin. Akan tetapi, setiap kali ditanya, perempuan itu hanya menyunggingkan senyum tipis atau berpaling ke luar jendela seolah enggan diganggu. Bahkan untuk mengucapkan sebuah nama. Lantas orang-orang di sana memanggilnya Flamboyan, sesuai dengan nama jalan di mana kafe ini berada. Satu-satunya hal yang diketahui mereka adalah bahwa perempuan itu ingin menikahi hujan.

Seperti hari ini, perempuan itu duduk di salah satu meja dekat jendela. Memesan cokelat panas dan roti bakar yang dioles margarin dan madu, ditambah whippe cream serta potongan strawberry. Namun, kali ini pohon flamboyan tidak berbunga, sisa gugurnya masih tampak jelas di jalanan berdebu, membuat wajah perempuan itu mendadak sendu.

Tangannya merogoh tas, mengambil buku catatan bersampul cokelat dengan motif klasik dan pena bambu berwarna senada. Beberapa detik kemudian ia telah tenggelam dengan tulisannya, tak peduli sekitar yang mulai ramai.

Menjelang petang hujan turun tiba-tiba dan perempuan itu langsung menatap ke luar jendela. Senyumnya merekah saat air langit mulai membasahi jalanan beraspal; rumput-rumput yang dipangkas rapi di depan kafe; juga bunga lavender yang tumbuh subur di samping pagar. Suasana hatinya berubah, seperti seseorang yang tengah bertemu kekasihnya setelah lama tidak berjumpa. Berseri-seri.

Perempuan yang hari ini mengenakan selendang berwarna pastel, senada dengan dres selutut bermotif daun ginko itu untuk pertama kali menyesap cokelat panas yang uapnya telah menghilang lima menit lalu. Pandangannya masih tertuju pada air langit yang jatuh satu-satu. Ya, selain indahnya bunga flamboyan bersanding dengan kilau mentari sore, hujan di balik jendela membuatnya betah untuk duduk berlama-lama di kafe ini.

Ting.

Denting lonceng pertanda ada yang datang membuat pengunjung menoleh sesaat, lalu kembali asyik dengan kesibukan masing-masing. Di depan pintu kaca geser yang baru ditutup, kamu berdiri dengan rambut dan pakaian basah. Pandanganmu menyapu sekitar, mencari meja kosong. Namun, semua meja terisi penuh. Hujan selalu membuat kafe yang terkenal dengan dessert-nya ini ramai.

Seorang karyawan mendekatimu yang masih berdiri mematung. “Mejanya penuh. Kalau mau, bisa duduk di meja bar, nanti saya siapkan kursi.

Kamu tersenyum. “Terima kasih, tapi saya mau pinjam toiletnya dulu,” balasmu. Ada perasaan lega yang tampak jelas di wajahmu.

“Silakan. Lurus saja nanti belok kiri.”

“Terima kasih. Saya pesan arabika-nya satu.”

Kamu berjalan menuju toilet, melewati perempuan yang menatap ke luar jendela yang sedari tadi menarik perhatianmu. Tak lama kemudian kamu kembali setelah merapikan penampilan dan duduk di kursi di depan meja bar. Pandanganmu tertuju pada perempuan yang menatap ke luar jendela seolah tak peduli sekitar. Seolah hujan menjadi satu-satunya hal yang menarik perhatiannya.

Wangi arabika mengalihkan perhatian. Bagimu, hujan dan kopi adalah pasangan paling pas. Ia menciptakan sendu sekaligus tenang bersamaan dan kamu betah duduk berlama-lama di kafe menikmati sepi di tengah ramai. Namun, kali ini perhatianmu tertuju pada perempuan yang mengenakan selendang dan tengah menatap hujan yang perlahan reda.

Malam kian merambat, hujan kian reda dan perempuan yang disapa Flamboyan oleh karyawan dan pemilik kafe beralih pada roti bakar yang mulai dingin. Ia memakannya dengan lahap tanpa meninggalkan sisa, kemudian menyesap cokelat dingin yang tinggal setengah.

Netranya melirik jam di pergelangan tangan kanan. 19.09 wib. Ia buru-buru meninggalkan meja setelah satu kali menatap lampu jalan yang menyala terang.

Sementara pandanganmu mengikuti langkah perempuan yang berjalan terburu-buru tersebut. Sepeninggal perempuan itu, satu persatu pengunjung lain juga pergi. Denting lonceng di pintu masuk pun sesaat terdengar riuh sekali. Namun, detik berikutnya suasana hatimu mendadak lebih sunyi.

Tatapanmu pun beralih ke luar jendela. Jalanan setelah hujan turun kian ramai oleh lalu lalang kendaraan. Detik berikutnya netra cokelat itu tertumbuk pada sebuah buku di atas meja di mana perempuan tadi duduk. Kamu menghampiri meja di samping jendela, mengambil buku bersampul cokelat dan pena bambu dengan banyak ukiran.

Kamu hendak mengejar perempuan tadi, tetapi tak jadi lantaran selembar daun maple merah terjatuh dari buku. Tanganmu gegas memungutnya, menaruhnya kembali ke dalam buku. Sebuah tulisan di halaman pertama buku yang terbuka sangat menarik perhatianmu.

Padamu, kutambatkan hati yang telah mati setelah dia pergi bersama perempuan berkulit putih. Padamu kulabuhkan asa yang sebelumnya binasa oleh kecewa
Padamu semua perasaan tumbuh; luka-luka sembuh
Padamu, Rainy


Kamu memilih duduk di kursi perempuan itu. Membuka lembar demi lembar buku catatan yang memuat tulisan-tulisan pendek, lengkap dengan dooddle art berbeda di setiap halamannya. Kebanyakan adalah tulisan tentang seseorang bernama Rainy. Kamu menebak-nebak siapakah Rainy yang memiliki nama seperti perempuan ini. Pikiranmu berkelana. Kamu menggeleng cepat.

“Tidak mungkin,” gumammu.

Senyummu terbit. Kata orang-orang senyummu amatlah manis. Lantas kamu jadi jarang tersenyum karena enggan orang-orang menyukai senyum yang telah kamu janjikan pada seseorang yang amat dikasihi.
Kamu kembali larut membaca. Entah karena ketertarikan berlebihan atau tulisan-tulisan perempuan itu yang membuat hatimu terhenyak. Terlebih sebuah paragraf pendek yang membuatmu terhenyak.

Aku ingin menikahimu, Rainy
Kemudian kita bercinta di bawah langit biru, berbasah-basahan
Peluh kita, tawa kita, bahagia kita, semuanya menyatu dan kita tak perlu lagi merasakan duka yang tumbuh dari waktu ke waktu
Akankah Tuhan mengizinkan?


“Permisi.”

Suara lembut perempuan menyadarkanmu. Kamu menoleh ke sumber suara dan mendapati perempuan pemilik buku catatan ini telah berdiri di sampingmu dengan ekspresi yang sulit dibaca. Tubuhmu kaku. Ada perasaan tidak enak yang langsung menjalar ke seluruh tubuh. Bisa dikatakan saat ini kamu seperti maling yang tertangkap basah mencuri.

“Punya saya.”

“Ah, ini ….” Tanganmu terulur menyodorkan buku dan pena yang sedari tadi dipegang. “Maaf. Tadi saya hendak mengembalikan, tapi ….”

Belum selesai kamu bicara, perempuan itu berbalik setelah mengambil buku catatan bersampul cokelat dan pena bambu dengan banyak ukiran. Kamu berdiri sebelum perempuan itu mencapai pintu kafe.

“Maaf, boleh saya tahu siapa Rainy?”

“Hujan.”

*Bumi Rafflesia, awal Juli 2021

Semesta KisahWhere stories live. Discover now