[10] Klise

4.7K 490 12
                                    

⚠Spoiler dichap terakhir dicut. Menghindari kebuntuan jalan cerita.

Irene terkikik dalam diam saat menyadari pria disampingnya ini selalu curi pandang kepadanya, dan ketika ketahuan, ia membuang muka. "Ekhem"

Aldo berlagak innocent dengan menaikkan alisnya menatap Irene. "Ada apa?"

Irene tak menjawab. Ia melanjutkan langkahnya yang sedikit lebih cepat dari semula. Membuat Aldo tersadar, dan mengejer ketertinggalannya.

"Cepet banget,"pekik pria itu menyejajarkan posisi.

Irene mendesis pelan, "Kalo kayak tadi terus kita gak bakal sampe-sampe ke tokonya"

Aldo cengir. Mengiyakan.

Kini jarum jam telah menunjukkan pukul 20.16, dan keduanya baru saja menginjakkan kaki di sebuah pusat perbelanjaan. Iming-iming sepatu yang patah, akhirnya Irene mengiyakan untuk ditemani Aldo malam ini. Sambilan dinner, gas dong.

Begitu pikir Aldo. Bodo amat ya urusan kantor. Buktinya ponselnya berdering, dia anteng tidak mengangkat.

Pahamlah, bapak Aldo juga butuh quality time dengan aphrodite!

"Kenapa gak diangkat?"tanya Irene yang sibuk memilih sepatu yang cocok dengannya.

Aldo yang berdiri dibelakangnya sambil mengedarkan pandangan berniat mencari referensi yang pas, hanya menggelengkan kepalanya malas. "Bukan siapa-siapa"

"Kalau siapa-siapa gimana?"

"Ya paling sekertaris Ayah, kalau nggak Renata sih udah selesai. Yang ini mau gak?"tanya pria itu yang telah berjalan jauh menemukan pilihannya. "Ukuranmu berapa?"

"34"

"Mungil banget."ucap Aldo spontan yang langsung dihadiahi tepukan pedas dari perempuan itu.

"Baru sekali ini saya menemukan ibu-ibu berumur ukurannya sekecil kamu"

"Jaga ucapannya saya lebih tua dari kamu"

"Tapi kamu lebih kecil. Yaudah, kecil."pekik Aldo sambil meletakkan tangan diatas kepala Irene yang tingginya hanya sepundaknya.

Ya Tuhan, bener ya Aldo gak sopan banget?

"Ihhh!"dumel Irene kesal sambil menyikut perut pria itu. "Gak sopan, saya doain kena azab!"

Aldo hanya tertawa melihat ekspresinya yang terlihat manis. Kapan lagi dia bisa bertingkah seperti ini dengan Irene?

Dan sekali lagi, dering ponsel Aldo menghentikan suasana.

"Angkat,"

"Yaudah saya angkat dulu. Sebentar ya,"

Irene mengiyakan sambil menatap punggung pria itu yang kian menjauh.

👠

"Apasih Ren?"

"Lo dimana gila ini si bapak nyariin lo sinting apa begimana"

"Ayah? Kenapa emang? Kan kerjaan gue udah siap"

"Apanya yang udah siap? Berkasnya nambah lagi. Lo ngerti gak Davian aja masih berkutat di ruangannya dari pagi sampe sekarang gak ada keluar????? are u sure to surrender ur right? Okay!"

Aldo terdiam. Bibirnya sedikit dimajukan setelah akhirnya berpikir sejenak. "Gue lagi diluar."

"Bareng mbak Irene? Iya?"

"I-iy—"

"Oh ya pantes deh lo tuli dari semua panggilan. Coba cek berapa missed call dari sekertaris sama asisten pribadi pak Wijaya."

92 missed call from pak Budi

86 missed call from pak Adi

16 missed call from Renata

"Hehehe"

"Sekarang balik, atau lo terima kalo Davian berada diatas lo pas rapat keputusan dewan direksi"

"Kalau bener-bener sekarang gue gak bisa,"ujar Aldo sembari menilik ke arah Irene yang masih asik mencoba beragam sepatu. "Sejam lagi?"

"Gila ya lo sejam lag—"

"Iya iya setengah jam,,,"

"Terserah gila asal gak mampus aja ditangan bapak lo. Lo ngerti gak dia marah-marah dari tadi?!!"

"Lima belas menit. Deal"

"Bodo amat"

Tut!

Panggilan telepon diputuskan sepihak, membuat Aldo berdecak kesal harus merusak momen indah dengan Irene.

"Rene,"panggilnya pelan sesaat setelah sampai didekat perempuan itu.

Irene menoleh kemudian menaikkan alisnya, "Ya? Udah selesai?"

Aldo mengangguk cepat yang disusul, "Bagus deh" oleh Irene.

"K-ka—" Gak mungkin gak. Harus berapa bulan dia nunggu buat jalan bareng Irene? Tapi pas udah terealisasikan, masa ada aja yang ganggu sih?

"Ah, kurang. Aku ngerasa nggak co—"ucapan Irene terhenti ketika melihat pria itu kembali mendapat panggilan sehingga sedikit menjauh darinya.

Seolah mengerti, Irene melangkahkan diri menuju kasir. Mengambil salah satu pilihan yang sebenarnya, ah, kurang, namun tidak mungkin dia seperti ini juga kan besok?

"Eh?"

Aldo menemukannya yang sudah berjalan menuju kasir kemudian mendekatinya.

"Udah selesai?"

"Udah"ucap Irene.

"Sekarang mau kemana lagi?"

"Pulang."balasnya enteng.

Pria itu menelan ludah, seolah mendapatkan momen yang tepat untuk menghentikan pertemuan mereka hari ini. "Kamu mau pulang?"

"Iya. Saya bareng Azka. Duluan aja,"

"Loh kok gitu? Kan perginya sama saya?"pekik Aldo tak terima. Dirusak dan berakhir dengan cara begini membuatnya berpuluh-puluh kali lipat lebih kesal.

"Gak papa. Sudah ya, Azka udah di lobby."ujar Irene sambil bergegas. "Makasih udah nemenin saya hari ini"

Aldo terpatung melihat perempuan yang menjauh sambil menenteng tas belanjanya. "Hati-hati!"

Irene menolehkan kepala, mengangguk kemudian mengepalkan tangan menujukkannya kepada Aldo.

Seperti isyarat... Semangat?

Aldo mencetak senyumnya tipis kemudian mengangguk. "Nanti saya hubungi! Angkat telfon ya!"

Perempuan itu tak menjawab, hanya menyimpan senyum dalam kepergiannya.

👠

Aldo pusing banget! Baru menyelesaikan beratus-ratus tumpuk berkas, dan sekarang nambah dua kali lipat...?

"Itu hukuman buat lo yang harusnya bisa ngerjain selesai dijam pulang, tapi lo kabur bareng cewek yang bikin lo ditelfoni berkali-kali juga nggak ngangkat,"pekik Renata yang anteng duduk disofa ruangannya. "Gak tau emang ekspresi wajah pak Wijaya gimana?"

Aldo tidak menjawab. Gak berniat juga. Ia hanya melenggangkan langkah beratnya menuju kursi, kemudian mengenakan kacamata bacanya.

"Do, soal Davi—"

Tiba-tiba pintu terbuka, menampilkan Anton Wijaya dengan wajah datarnya, mendekati anak tunggalnya itu.

Renata membungkukkan badan, berniat keluar dan meninggalkan kedua orang tersebut.

Plak!

Aldo membuang wajahnya ketika sebuah tamparan mendarat tepat di sebelah pipi kirinya.

Mommy's SecretWhere stories live. Discover now