[11] Untuk orang yang ku sayang

4.6K 548 22
                                    

Alazka menatap wajah sayu sang ibu yang baru datang dengan sebuah tas belanjaan. "Tumben. Sendiri?"

Irene mengangguk kecil sembari mengambil ponselnya yang bergetar pelan.

From: Aldo
Sorry. Just be careful with ur self. Goodnite🌛

Sontak senyumnya tersungging manis di bibir, membuat Azka mengernyitkan dahi. "Dari siapa tuh? Sebentar Azka tebak."

"Om Mino,pasti bukan. Om Taufan, nggak. Om Davian.... Hm. Atau—"Lelaki itu tersenyum menggoda, "Om Aldo?"

Irene mempoutkan bibir tak berniat menjawab pertanyaan anaknya. "Udah gak usah dibahas. Gimana tadi sekolahnya?"

"Ya begitu. Azka ngikutin pelajaran kok nggak pernah bolos apa-apa lagi. Kan sayang sama mommy"

"Sayang sama mommy atau sayang sama gebetan baru?"tanya perempuan itu. "Gimana ceritanya sama Aaliyah? Masih kontakan?"

Alazka menarik nafas dalam, "Bukan sama yang baru. Kayaknya kita mutusin buat balikan"

"Bagus dong, mommy setuju"ujarnya tanpa ragu sambil menatap anak satu-satunya itu. "Apapun yang buat kamu senang, mommy ikut senang"

Lelaki itu tersenyum lebar, sebelum akhirnya menarik tubuh Irene ke dalam pelukannya. "Seandainya mommy itu beneran ibu kandung Azka. Azka bahagia banget dilahirin sama wanita kayak mommy"

"Azka nggak boleh gitu. Ibu kamu di atas pasti cemburu anaknya lebih seneng dilahirin sama mommy"balas perempuan itu haru, sambil mengusap rambut Alazka.

"Nggak kok. Ibu nggak bakal cemburu. Yang dicemburuin terlalu berharga, dan ibu pasti ngerti kenapa Azka yang bisa sesayang ini sama mommy. Mommy emang pantes,"

"...tapi masih ada yang lebih pantes lagi buat menyayangi Mommy lebih dari rasa sayang Azka."tutur lelaki itu tiba-tiba terisak. "Anak kandung Mommy,"

"Azka masih gak ngerti kenapa masih ada orang sebaik Mommy yang rela bohong sama dunia kalau kita ini ibu dan anak. Padahal Azka bakal bisa nerima kalau Mommy coba jujur kepada semua"

"Azka pikir tentang pak Aldo yang hampir tau kebenaran, karena Mommy memang jatuh hati sama dia. Tapi Azka bingung, kenapa Mommy malah semakin memperumit keadaan"

"Siapa yang mommy suka sebenarnya?"

Irene mengembangkan senyumnya tipis, berlagak innocent. "Nggak ada,"

"Bohong. Gak mungkin Mommy nggak menyimpan perasaan sama pria yang segitu banyak menyukai Mommy"

"Memang nggak ada. Mommy cuma fokus sama kamu. Sekolah kamu. Kuliah kamu. Yang penting kamu bahagia, Mommy juga bahagia"tegasnya sebelum bangkit dari duduk. "Mommy mau mandi dulu, jangan lupa makan malam sayang"

Azka menatap punggung yang semakin menjauh itu, kemudian menundukkan kepalanya. "...You shouldn't do anything like that..."

👠

Aldo hanya diam mendengar ringisan sang ibu yang terus mengusap wajahnya yang memerah, karena ditampar oleh Anton Wijaya, ayahnya sendiri.

"Cup cup sayang"pekik perempuan tua itu sambil merengkuh tubuh Aldo dalam pelukannya. "Nggak terlalu sakit lagi kan?"

"Ini akibat kamu yang terlalu sering memanjakan dia Marisa. Kekanak-kanakan, dan bertindak semaunya sendiri"tutur Anton yang melihat pemandangan itu.

Seolah jijik, pria tua itu memutar matanya ketika Marisa menegurnya.

"Kau yang keterlaluan Mas. Kau pikir mengerjakan berkas sebanyak ini dalam sehari tidak capek?"tanya perempuan itu membela. "Apalagi sudah lebih dari seminggu dia selalu lembur dan nggak bisa diganggu. Menjadikan anakmu seperti mesin, kau tega?"

"Dia itu sudah besar Marisa. Berhenti over-caring dengannya. Lagian apa kamu bisa terima kalau Ayah memutuskan mengangkat Davian jadi CEO?"

"—Ini juga demi Aldo. Tolonglah mengerti aku sekali saja. Aku yang tua ini tidak kuat lagi memikirkan nasib yang harus ditanggung anakku jika dia susah. Ini demi dia,"

"Rapat dewan direksi seminggu lagi. Buktikan jika kau bisa kepada kakek, jika tak ingin anak sialan itu melangkahimu. Aku angkat tangan jika keputusan sudah keluar,"

Anton meninggalkan sepasang ibu-beranak tersebut di dalam ruangan yang mendadak hening itu.

Marisa tersentak ketika Aldo menyingkirkan tangannya pelan dari rambutnya. "Benar kata Ayah. Aldo terlalu kekanak-kekanakan,"

"Berhenti membiarkanku manja. Ini demi anakmu,"lirihnya pelan.

👠

Tidak ada yang percaya, perubahan sikap drastis Aldo kembali terjadi setelah kejadian 'penamparan' malam itu. Rupanya oh rupanya, diluar dari siapa oknum dibalik perekaman dan penyebaran video itu hingga sampai ke telinga karyawan, Irene tidak mampu menutup telinganya yang panas akibat ikut tak enak mendengar.

Memang, intensitas pertemuan mereka semakin menurun sejak hari itu. Tampaknya Aldo ikut tak mau kalah dengan pesaing Davian yang menit ini tengah menyodorkan sebuket mawar dan sekotak cokelat kepadanya sambil bertutur, "Happy Valentine,"

Irene memijat pelipisnya. Sekarang stok bunga dan cokelat kian bertambah memenuhi mejanya. Namun persetan dengan semua itu. Ia hanya perlu memastikan bahwa pria yang lima belas menit lalu keluar dengan tergesa-gesa itu kembali dengan selamat, dan ia baik-baik saja.

Kalimat-kalimat buruk tak jarang Irene dengar tentang Aldo sebagai predikat 'anak manja'-lah, 'pewaris perusahaan yang malas'-lah, sampai-sampai 'anak tunggal yang sial' karena pertimbangan CEO perusahaan akan dirinya yang secara harfiah merupakan cucunya sendiri.

Irene menganggap ini adalah hal yang normal bagi seseorang yang mempunyai jabatan penting dalam pekerjaan. Namun mengetahui betapa terbebannya pria itu sampai menutup telinga kuat-kuat tentang peristiwa tertamparnya beliau oleh ayahnya sendiri karena hal yang terlalu biasa jika dijadikan alasan, Irene cemas akan keadaannya.

Bisa dibilang pria itu terlalu memaksakan dirinya akhir-akhir ini, sampai tidak fokus kepada tujuan dan langkahnya sendiri. Begitu dalam pikirannya, saat Aldo hampir membelokkan diri ke arah toilet wanita.

Bayangkan saja, toilet wanita!

Tanpa ragu, Irene memegang pinggang pria tersebut, menahan dan menuntunnya ke arah yang benar.

"Take a rest, it's enough"

Aldo tak mampu menahan senyumnya yang mendadak mengembang saat tahu orang itu adalah Irenenya.

"Happy Valentine,"

Pria itu menaikkan alisnya tak percaya saat sebuah cokelat berpita putih tersodor ke arahnya dari tangan Irene.

Catat, perempuan itu.

"Tanggal berapa ini? 14 Februari?"

"Sampai hal kecil kayak gitu aja bapak tidak ingat,"ujar Irene formal. Ia mengamit tangan Aldo untuk menerima pemberiannya. "Don't too force your-self. You've been doing your best."

Aldo terpatung setelah mendengar bisikan kalimat yang begitu—sangat— ingin ia dengar disaat-saat seperti ini. Di saat semua orang mencaci menuntut hingga angkat tangan mempercayainya. Dan perempuan itu melakukannya.

Irene melenggangkan langkahnya berniat meninggalkannya. Namun tangan itu sontak diamit, ditahan kepergiannya.

Aldo merengkuh Irene di dalamnya. Seolah tak mampu berkata-kata, pria itu berharap Irene mengerti perasaannya. Air yang keluar dari pelupuk mata itu sebagai bukti dirinya yang butuh tempat bersandar, seperti saat ini.

Sadar tidak sadar, Irene mengusap bahu pria itu dengan lembut, dan mengeratkan pelukan mereka.

Pria itu benar menangis. Malu dengan dirinya sendiri yang merasa tak pantas lagi menjadi apa-apa di mata orang.

Irene tak bersuara, ia menikmati curahan hati yang Aldo tumpahkan melalui air matanya, dan rengkuhan keduanya.

"You're not alone. I'll be there for you,"

"...Selamat kasih sayang, untuk orang yang ku sayang"

Mommy's Secretحيث تعيش القصص. اكتشف الآن