13: Kuingin Selamanya

Start from the beginning
                                    

Sampai di ruang tengah, aku melihat pemandangan yang hampir saja membuat air mataku mencelos keluar dari sarangnya, pemandangan yang sangat langka di mana Arya mencium punggung tangan Mama dengan sopan, dan Mama membalas dengan usapan di kepala Arya.

"Apa kabar, Ar? perasaan bulan kemarin Mama ke Palembang enggak pernah lihat kamu. Mama mau nyuruh kamu ke rumah tapi Mama lupa. Alhamdulillah kali ini Mama ingat," cerita Mama antusias, bahu Arya ditepuk-tepuk pelan.

Kulihat Arya tersenyum kecil menanggapi Mama dan menjawab pertanyaan Mama yang menanyakan kabarnya.

"Mama apa kabar?" tanyanya.

"Alhamdulillah baik, Papa nanya kamu juga. Rindu dia sama kamu, beda nian anak Mama satu ini, semakin sibuk jobnya ya," kekeh Mama sedangkan Arya masih betah tersenyum kecil dan menggeleng pelan.

Kalau dia tersenyum seperti ini, wajahnya sangat mirip dengan Yuk Keyla, saudara Arya yang pertama sekaligus sudah menikah.

"Enggak, Ma. InsyaAllah pas enggak ada mata kuliah Arya besuk Papa."

Dan aku tercengang, dia benar-benar mengatakan itu? yang kukenal Arya tidak pernah main-main dalam ucapannya, jika dia mengatakan A maka dia akan melakukan A. Seperti tadi, dia mengatakan akan besuk Papa maka dia pasti akan melakukannya, tapi serius?

"Iya iya, ajak Inka juga itu. Dia 'kan selalu kangen Papa," usul Mama cengengesan, Mama tidak tahu apa yang terjadi pada anakmu dan Arya, Ma.

Perang dingin seolah terjadi diantara kami, mana mau dia mengiyakan ucapan Mama.

"Iya, Ma. InsyaAllah," jawab Arya yang sukses membulatkan bola mataku yang memang sudah bulat, ini kenapa aku sangsi ya mendengar jawaban Arya. Apa dia hanya pura-pura di depan Mama.

Kalau begitu pintar sekali aktingnya, sudah pandai main musik, pandai pula berakting, kalau mau nanti kuhubungkan mantan tetanggaku si Zikri dan Zikra yang sekarang tinggal di Jakarta, bisa saja 'kan dia jalan-jalan terus ketemu produser film di Jakarta sana.

"Inka? Astagfirullah, Yuk. Kebiasaanmu tuh enggak hilang-hilang!"

Aku melongo ketika sadar dari pikiranku melihat Mama, Arya, dan Reana menatap ke arahku dengan ekspresi berbeda-beda.

"Mama ngomong apa? hehe ... maaf, Ma,"

"Memang, Ma. Di emang selalu melamun kalau dang asyik cerita, kita udah cerita panjang-panjang eh mesti diulang karena dia enggak dengerin," adu Reana pada Mama yang hanya bisa menggelengkan kepalanya menatapku.

"Maaf, maaf. Udah kebiasaan, susah dihilangin, Ma."

"Ck! kamu tuh, ini roti komplit bawaan Arya, taruh di piring lalu bawa lagi ke sini kita makan sama-sama," titah Mama menyodorkan kantong berwarna pink berlogo bapak-bapak bertopi koki sambil manggang roti.

Setelah kulaksanakan perintah Mama tadi, roti komplit dari Arya sudah bertengger cantik di atas piring dan kuletakkan di tengah meja.

"Nah, ayo makan Arya, Reana. Mama emang pengin roti ini udah lama enggak makan roti komplit. Arya tahu aja deh," kekeh Mama sambil meraih sepotong roti yang dioles selai stoberi diikuti Reana kemudian Arya.

Lalu Mama mengerutkan dahinya ke arahku, "Kenapa kamu enggak makan? kenyang?" tanyanya. Aku menghembuskan napas dan membanting bokongku ke samping Reana duduk.

"Mama tadi enggak nawari," kataku datar mengundang tawa Mama dan Reana, sebuah tawa yang menyiratkan ejekan sedangkan Arya hanya menampilkan senyuman miringnya.

🌹


Kami sudah berada di restoran Hj. Sukri di depan Opi Mall yang berada di kawasan Jakabaring, tadi sore hari Mama sempat meminta izin pada Mamak untuk meminjam Arya beberapa jam kedepan, dengan dalih merindukan sosok pemuda yang lama tak beliau lihat, tentunya dengan senang hati Mamak mengizinkan.

Luka dalam Prasangka ✔Where stories live. Discover now