Bad Boy Study -25- Kerja Kelompok?

6.8K 485 3
                                    

Written by @PhiliaFate

Dicopy sama persis ke:
💖 THE BAD AND THE NERD 💖
💖 POSSESSIVE BAD BOY AND MY NERD GIRL 💖
💖 MY STALKER BADBOY 💖
💖 BADBOY'S LOVE 💖

Written by @PhiliaFateDicopy sama persis ke: 
💖 THE BAD AND THE NERD 💖 
💖 POSSESSIVE BAD BOY AND MY NERD GIRL 💖 
💖 MY STALKER BADBOY 💖 
💖 BADBOY'S LOVE 💖

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Aria nyaris menyumpah-nyumpah kasar ketika mendapati bahwa Axel sudah berada di depan kompleks apartemennya. Pemuda itu duduk di atas sepeda motor berwarna merah sambil menatap Aria dan Ji Wook. Alisnya menukik tajam dan jelas-jelas terlihat bahwa dia tidak suka dengan keberadaan mereka. Perlahan Axel bangkit berdiri dan berjalan ke arah pasangan yang baru saja habis berkencan. Gerakannya pelan tapi mengancam. Secara instingtif, Ji Wook maju selangkah dan melindungi tubuh mungil Aria di balik punggungnya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Ji Wook memecah kesunyian yang mencekam. Kondisi di depan apartemen Aria sepi karena memang kompleks itu terletak di ujung jalan sehingga tidak banyak orang lalu lalang selain penghuni. Pemuda itu merasakan Aria menarik ujung jaketnya, memberikan pesan tersirat agar dia mengendalikan emosi. Hal itu membuatnya sadar bahwa mereka masih di tempat umum. Jendela-jendela apartemen yang menyala adalah bukti adanya orang lain di sana.

Axel menggeser tatapannya kepada Aria yang hanya muncul setengah dari balik tubuh Ji Wook. "Menunggu seseorang untuk tugas kelompok. Hanya saja sepertinya penerima beasiswa ini lebih sibuk berkencan daripada mengkhawatirkan nilai," ucapnya dengan nada sedingin es dengan tatapan yang menghujam, membuat Aria gentar.

"Kemana pun kami pergi, itu bukan urusanmu!" seru Aria berusaha menahan getar dalam suaranya, walau tangannya makin menggenggam erat ujung jaket Ji Wook. "Dan aku tidak peduli pendapatmu tentang diriku!"

Sudut kiri bibir Axel naik, memunculkan sebuah senyum sinis yang menghina. "Berkencan dengan anggota komite sekolah tidak akan menyelamatkanmu, Dwarf Girl."

"Dia hanya memilih teman dengan bijak," sanggah Ji Wook membuat Axel kembali memandangnya tajam. Ji Wook dapat merasakan rasa takut Aria dan berjanji dalam hati akan melindungi gadis itu dengan segenap kekuatannya.

"Berusaha menjadi pangeran berkuda putih rupanya, tapi sayang aku dan Aria masih punya urusan," desis Axel kembali menatap Aria dengan sudut mata. "Jika ingin mempertahankan beasiswamu, belajar untuk menggunakan ponsel dengan baik, Dwarf Girl, dan balas pesanku. Kecuali jika kau merasa 'berteman' dengan anggota komite sekolah bisa menyelamatkan nilai Fisikamu."

Aria ingin membalas perkataan Axel tapi dia sadar saat ini Ji Wook yang lebih ingin menghajar pemuda dengan rambut dicat pirang itu. Axel berjalan kembali ke sepeda motornya dan memakai helm. Dia sengaja menarik gas beberapa kali dengan berisik sebelum motornya melaju pergi. Hanya setelah Axel menghilang dari pandangan, napas Aria bisa terembus. Kakinya terasa seperti jelly. Hanya dengan berpegangan pada jaket Ji Wook dia masih bisa berdiri.

"Aku tidak menyangka dia tahu apartemenmu." Ji Wook berdecak tidak suka. "Dia pasti menggunakan koneksinya untuk mendapatkan data siswa yang seharusnya rahasia."

Pemuda itu menghela napas sebelum menatap Aria dengan tatapan khawatir. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya seraya menepuk-nepuk puncak kepala gadis itu dengan lembut. Dia menyadari wajah pucat Aria dan tersenyum lemah. "Tenang saja, dia tidak akan macam-macam denganmu. Bila Axel menerormu, hubungi aku. Aku akan langsung kemari."

Ucapan Ji Wook yang tenang membuat rasa takut Aria mencair dan gadis itu mengangguk pelan sambil tersenyum. "Terima kasih."

Melihat Aria tersenyum manis seperti itu membuat Ji Wook ingin mengecupnya tapi pemuda itu menahan diri. Tidak bijaksana untuk memulai hubungan terlalu cepat. Dia ingin Aria merasa nyaman dengannya lebih dulu. Sebagai gantinya, Ji Wook kembali menepuk-nepuk puncak kepala Aria dan membalas senyumnya.

"Istirahatlah. Besok kau masih harus bekerja. Aku pulang dulu."

Aria mengangguk dan melihat Ji Wook kembali masuk ke dalam mobil. Dia mengamati pemuda itu hingga mobilnya menghilang di tikungan. Gadis itu menghela napas. Hari ini harusnya sempurna. Kencannya dengan Ji Wook berjalan baik dan jantung Aria berdebar ketika menyadari perhatian-perhatian kecil yang diberikan oleh pemuda Korea itu padanya. Mengingatnya membuat senyum muncul di wajah gadis itu tapi luntur sedetik kemudian ketika wajah Axel terlintas. Kejadian barusan adalah penutup yang buruk atas harinya. Dia tidak menyangka ketidaksengajaannya untuk mengabaikan panggilan dari Axel akan berujung buruk. Pemuda berandal itu nekat mendatangi rumahnya. Tidak bisa dibayangkan bila tadi tidak ada Ji Wook yang mendampinginya.

Gadis itu mengambil napas berat dan membalikkan badan untuk masuk ke apartemennya yang sederhana. Baru saja dia hendak mengempaskan diri ke atas sofa ketika ponselnya berbunyi pelan, pertanda ada pesan masuk.

"Besok pagi jam sembilan di Wacko Burger."

Aria mengerang. Itu adalah pesan dari Axel. Sebuah denting menyusul, ada pesan lain yang masuk dari orang yang sama.

"Jangan kabur. Aku yang akan mengantarmu ke resto setelah selesai."

Gadis itu mengentak-entakkan kaki sambil menggerutu sebelum dia mendapatkan ketenangan untuk bisa mengetikkan satu huruf.

"K."

Balasan yang cukup bagi orang pemaksa seperti Axel. Aria kembali menggerutu sambil berjalan masuk ke kamarnya. Besok akan menjadi hari yang berat dan Aria mengutuki saat di mana Mr. Alfred memasangkannya dengan Axel. Mau tak mau, Aria mengakui bahwa Axel benar. Dia tidak bisa terus-terusan menghindar. Ada nilai dan beasiswa yang dipertaruhkan. Axel hanyalah masalah kecil dibandingkan masalah keluarganya. Sambil menguatkan mental, Aria bersiap untuk tidur.


Pagi datang terlalu cepat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Pagi datang terlalu cepat. Walaupun Aria bangun lebih awal untuk memasak dan berberes, waktu terasa terbang dan tahu-tahu jam sudah menunjukkan pukul delapan lebih lima belas. Hanya ada sepuluh menit untuk bersiap dan berangkat.

"Pergi lebih awal?" tanya sang ayah ketika Aria pamit dengan menyalim tangan yang mulai keriput itu.

"Iya, Pa. Ada kerja kelompok lalu aku ke restoran." Aria memperbaiki letak sling bag-nya. Hari ini dia berdandan ala kadarnya. Hanya jeans dan kaos longgar berwarna biru laut dengan gambar abstrak sebagai pemanis. Rambutnya dicepol dan hanya bedak bayi yang menghiasi wajah.

"Hati-hati, ya. Papa akan berbelanja dan kita akan merayakan kenaikan gaji Papa saat makan malam."

Wajah Aria langsung semringah. "Aria akan pulang tepat waktu! Bye!"

Aria merasakan semangat baru ketika keluar dari rumah. Setidaknya hari itu ada satu kejadian yang layak ditunggu. Makan malam bersama sang ayah. Kesibukan mereka berdua membuat kebersamaan adalah barang langka. Pekerjaan Aria menuntutnya pulang lebih malam dan mereka hanya sempat berbincang singkat di hari-hari normal.

Hanya saja, begitu gadis itu melihat Axel menunggunya di restoran cepat saji tak jauh dari rumahnya, senyum gadis itu langsung luntur dan dia merasakan beban berat mengimpit dada. Axel duduk dengan buku terbuka di meja. Dia memakai kaos berwarna putih polos yang membungkus badannya dengan pas, seakan-akan baju itu dibuat khusus untuknya. Rambut coklatnya terpangkas rapi. Ketika dia mengangkat wajahnya, mata hijau itu langsung menatap Aria tajam.

Detak jantung Aria selip satu hitungan.

"Kemari!"

Suara bariton itu membuat gadis itu kembali ke kenyataan dan berjalan menuju Axel. Dia bertanya-tanya tentang apa yang baru saja terjadi. Alis Aria berkerut dan menduga bahwa kopi hitam yang dia tegak tadi pagi adalah penyebabnya.

"Aku tahu! Tidak perlu menyuruh-nyuruh seperti itu!" omel Aria sebelum mengempaskan dirinya di kursi plastik dan melepaskan tasnya. Dia memandang sekeliling dan menyadari bahwa beberapa gadis mencuri pandang ke arah Axel sambil terkikik.

Aria memutar bola mata.

Oh please, tidak ditempat ini juga.

"Kau terlambat--"

"Semenit!" potong Aria tidak sabar. "Aku tahu. Jadi berhenti membuang-buang waktuku dan kita mulai."

Axel tidak menjawab dan hanya memandang Aria dengan mata hijaunya. Lagi-lagi jantung gadis itu berulah dan kerongkongannya terasa kering.

"Aku lapar." Axel berdiri tanpa aba-aba dan tidak peduli pada Aria yang sudah mengeluarkan buku-buku dari tas. "Pancake dan lemon tea?"

Aria tidak sempat membalas dan Axel sudah mengantri di depan kasir, membuat gadis itu kembali mengomel. Untuk apa bertanya jika tidak perlu jawaban? Aria mengerucutkan bibirnya sambil membuka buku teks. Dalam hati dia bertanya-tanya tentang hal yang baru saja dia alami. Perasaan apa tadi yang menyelinap masuk?

 Perasaan apa tadi yang menyelinap masuk?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ehm... Apa jadinya Aria kerja kelompok sama Axel? Apa Axel akan ngerjain aja? Tunggu lanjutannya Selasa, ya!

Doakan kami selalu sehat dan lancar ngetiknya. See yaa!

My Stalker Badboy (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang