Skyscraper Desire (Final Chapter)

Start from the beginning
                                    

"Ide yang bagus, Jo." ucap Jaiden.

Aku menoleh kepadanya. "Ide yang bagus?"

"Iya, ada baiknya kita beri mereka sedikit motivasi sebelum bekerja." Jaiden bangkit berdiri, menarik lenganku, dan menuntunku ke lobi. "Sini."

Joline mengikuti kami sambil bersedekap dan memerhatikan kami dengan senyuman jahil.

Sesampainya di lobi, Jaiden mengetuk-ngetuk gelas kaca dengan sendok, menimbulkan bunyi berdenting dan berhasil menarik perhatian semua orang kepada kami. Puluhan pasang mata terpaku padaku dan Jaiden. Bagus sekali.

Aku hanya berdiri mematung di sebelahnya.

"Selamat malam semuanya. Ijinkanlah saya, selaku pimpinan perusahaan ini ingin mengajak kalian, khususnya diri saya sendiri juga dan Ellie." Ia menatapku dan aku membalasnya dengan senyuman. "Besok adalah hari pertama bagi kita untuk bekerja dan saya harap kita bisa bekerja sama sebagai tim, menghargai satu sama lain, dan melakukan gotong royong demi masa depan perusahaan ini dan masa depan kalian. Kita di sini adalah keluarga. Dan jujur saja jika ada yang mau kenaikan gaji, silakan langsung berbicara pada saya."

Kalimat terakhirnya berhasil membuat mereka tertawa kecil.

"Ellie, silakan." ucap Jaiden, melangkah mundur.

"Umm...," Astaga, ada berapa banyak mata yang sedang menatapku?

"Ya, sama dengan yang dikatakan Jaiden sebelumnya. Saya harap kalian bisa bekerja sama dan kita semua adalah keluarga. Jangan dibawa stress, ini adalah lingkungan yang ramah, dan..., tetaplah bekerja keras tapi dibawa santai aja. Itu aja pesan dari saya, terima kasih."

Walaupun aku dapat melihat beberapa dari mereka meringis ketika mendengar perkataanku, mereka tetap bersorak dan memberiku tepuk tangan. Aku membungkuk dan tersenyum lalu membalikkan badan.

Terima kasih banyak atas saranmu, Joline.

"Pesan yang sangat memotivasi." komentar Jaiden.

Aku mengisi gelasku dengan Sprite. "Jangan meledekku. Kamu tau aku belum siap."

Ia terkekeh lalu mengambil sepotong pizza. "Siapa yang bawa pizza ini?" tanyanya sambil menggigitnya.

"Kayaknya Vanessa. Atau Christian. Entahlah, salah satu dari mereka."

"Mereka pacaran ya?"

Disaat yang bersamaan, aku melihat Joline memutarkan volume speaker sambil berjoget ria hingga dadaku berdebum dan aku dapat merasakan lantai bergetar. Jaiden mengatakan sesuatu namun aku tidak dapat mengerti apa yang dikatakannya. Suara kami kalah bersaing dengan suara speaker.

Kemudian ia berseru. "Ikut aku!"

"Kemana??" Aku berseru kencang tetapi Jaiden tidak mendengar dan sudah menghilang duluan. Terpaksa aku mengikuti jejaknya dari belakang.

>>>>>>

Setelah berlarian dan menaiki ratusan anak tangga untuk mengejar Jaiden, aku membuka pintu yang menembus ke atap. Angin berhembus kencang, membuatku mengeratkan blazer-ku. Jaiden menghadap ke langit di tepi atap, bersandar ke tembok pembatas setinggi perutnya. Angin malam meniup rambut dan mengibaskan jasnya.

"Jay!" seruku, membuatnya menoleh dan membalikkan badan. "Apa yang kamu lakukan di sana?" Aku menghampirinya.

Jaiden menopang sikunya di pagar pembatas, menghadap ke arahku. "Kita tidak bisa bicara di bawah sana."

Napasku terengah-engah. "Kenapa kamu tidak menggunakan elevator?"

Senyuman jahilnya terbentuk di wajahnya. "Iseng aja."

Aku memukuli bahunya sambil terkekeh. Kemudian bersandar ke dinding pembatas antara jalanan padat beratus-ratus meter dariku di sebelahnya, membalikkan badan, lalu mendongak. Bintang-bintang berkilau jauh di atas langit di balik gedung-gedung pencakar langit yang mengerumuni kami. Gedung ini hanyalah sebuah miniatur dibandingkan dengan gedung lain.

Udara yang sejuk menyentuh kulitku dan bisingnya jalan raya tidak terdengar dari atas sini namun aku dapat melihat kegiatan di jalan raya, semua mobil yang sedang bermacet ria dan pejalan-pejalan kaki di trotoar. Di atas sini, kamu merasa paling berkuasa karena kamu dapat melihat segala hal yang sedang terjadi.

"Enak kan di sini?" tanya Jaiden.

Aku mengangguk. "Kamu sering ke sini?"

"Kadang-kadang." Ia bergidik. "Aku sedang sendirian di kantor waktu itu, dan entahlah, ingin menjernihkan pikiranku, lalu aku menemukan tempat ini."

Aku membalikkan badan dan melihat ruang atap yang kosong. "Kita bisa meletakkan beberapa meja dan kursi rotan disini, dan payung teduh juga bisa. Kita bisa menikmati sarapan atau kopi di sini. Mungkin kita akan menjadikan ini tempat istirahat pegawai, untuk melepaskan stress." Aku mengibaskan tanganku. "Eh, nggak deh. Di sini akan panas di siang hari. Kalo malam para pegawai sudah pulang."

"Ternyata kamu lebih cocok menjadi seorang desainer interior daripada direktur perusahaan, El."

Aku tertawa kecil.

Kami terdiam sambil melihat langit malam. Lalu Jaiden menatapku dan tersenyum. Dia terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu. Aku menunggunya untuk berbicara namun ia mengalihkan pandangannya.

"Kenapa?" tanyaku.

Jaiden menggeleng. "Nggak apa-apa."

Aku menghembuskan napas. "Jay, kita rekan kerja sekarang. Aku harus tau apa yang ada di pikiranmu dan apa yang akan kau lakukan. Kita harus kerja sama." ucapku sambil memegang lengannya. "Katakan saja."

Ia menghela napas lalu menatapku. "Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih."

"Kenapa?"

"Karena telah menerima pekerjaan ini. Perusahaan ini tidak akan berdiri jika kamu tidak mengatakan iya waktu itu."

Aku mendengus. "Seharusnya aku yang berterima kasih. Kamu memberiku pekerjaan terbaik di dunia. Aku tidak seharusnya berada di sini. Seharusnya aku sedang memegang nampan sambil menerima pesanan pelanggan saat ini atau mengantarkan kunci kamar hotel kepada tamu."

Jaiden mengangguk pelan. "Pekerjaan terbaik? Apa yang membuatmu berpikir bahwa ini adalah pekerjaan terbaik?"

"Karena aku dapat bekerja denganmu." Senyumanku mengembang.

Jaiden tertawa lalu terdiam. Pandangannya menerawang ke bawah. Rahangnya mengatup tegang setelah ia membasahi bibir. Ia terlihat seakan-akan sedang menyembunyikan sebuah kesakitan, atau mungkin kesedihan, atau sebuah kehilangan.

Ia membalikkan badan tanpa melihatku lalu berjalan ke arah pintu. "Aku mau turun dulu."

"Jay?" Dia tidak menghiraukanku dan tetap berjalan.

"Sebenarnya kamu tau kan?" seruku, berhasil menghentikan langkahnya.

Ia menoleh ragu. Akhirnya dia membalikkan badan dengan alis berkerut. "Tau apa?" tanyanya sambil memasukkan tangan ke saku celana ketika angin berhembus.

"Kamu tau kalo aku punya perasaan yang sama terhadapmu seperti perasaanmu terhadapku." Suaraku hampir kalah bersaing dengan tiupan angin.

>>>>>>>>

Sisa dari chapter ini dihapus karena kepentingan penerbitan. Silakan dukung dan beli ebook complete untuk mengetahui kelanjutannya... 😊

Click this link to check it out! ⬇️⬇️⬇️

https://play.google.com/store/books/details?id=L91WEAAAQBAJ

Atau langsung ketik Skyscraper Desire: Eternity Publishing di kolom pencarian Google Playstore/Books

Jika ada kendala ataupun pertanyaan mengenai pembelian ebook, feel free untuk direct message me! Terima kasih readers untuk dukungan dan feedbacknya selama ini!

Skyscraper DesireWhere stories live. Discover now