The Other Woman

3.6K 223 0
                                    

"Siapa yang undang kamu ke sini?? Ini pesta privat!" Aku meremas tangannya dengan susah payah. Lengannya begitu keras seperti batu.

"Sama-sama." Jaiden tidak menghiraukanku lalu mengambil salah satu gelas beling yang tertata rapi di meja taman kemudian menekan keran dispenser yang menuangkan es timun serut.

Aku mendongak, berusaha untuk menatapnya tetapi Jaiden terus mengalihkan pandangannya dengan sengaja. "Sama-sama untuk apa?" tanyaku.

Ia menyebrangi taman, mengambil pie buah mini, masih mengalihkan pandangannya dariku. Aku mengikutinya dari belakang dengan langkah cepat. Saat aku berhasil menyusulnya, aku menghadangnya dan meremas tangannya, membuatnya berhenti melangkah lalu menghembuskan napasnya yang segera meniup anak rambutku.

Wajahku berjarak 10 cm dari dadanya yang lebar. Lalu aku mendongak dan tatapan kami bertemu.

Senyuman lebar mengembang di wajahnya. "Aku baru saja menyelamatkanmu."

Aku bersedekap. "Aku tidak butuh diselamatkan! Kamu kira kamu Superman??" Reaksi Jaiden yang hanya menaikkan alis dan tidak bergeming membuatku menghela napas.

"Lagipula, ayahku hanya memotivasiku untuk membuatku maju." lanjutku sambil memandang rumput.

Jaiden menatapku tidak percaya. "Benar."

"Jangan bersikap sok tahu." ucapku setelah ia menyodorkanku segelas es timun serut.

"Untuk apa kamu ke sini? Darimana kamu tau aku di sini?" tanyaku.

Jaiden duduk di kursi yang dilapisi taplak putih di sisi meja bundar yang dilapisi taplak putih juga. Sungguh, siapa panitia pesta ini? Ini pesta ulang tahun, bukan pernikahan – astaga. Aku mengikutinya kemudian duduk di sebelahnya.

"Aku ingin bertanya sesuatu padamu." ucap Jaiden tiba-tiba.

"Tanya apa?"

Ia mencondongkan badannya. "Kenapa kamu nggak minta izinku untuk cuti hari ini?" tanyanya dengan mata menyipit.

"Aku sudah nitip izin ke Joline dan Vanessa."

"Peraturannya adalah minta izin ke superior, El. Bukan nitip izin ke teman." ucapnya sambil memasukkan potongan kue terakhir ke mulutnya lalu ia memundurkan wajahnya.

Aku meringis setelah meneguk tetesan terakhir minumanku. "Lalu kenapa? Kamu akan memecatku?" desakku.

"Bagaimana jika aku memecatmu beneran?" ancamnya dengan senyuman lebar.

"Silakan saja. Maka itu kerugianmu sendiri. Kamu akan kehilangan pegawai yang baik di perusahaanmu. Kamu sendiri yang bilang tadi kan?"

Jaiden tidak mengalihkan pandangannya dariku tetapi tidak ada sepatah kata pun yan keluar dari mulutnya. Aku tidak tau bahwa Jaiden dapat kehilangan kata-kata. Ia menatapku heran kemudian menyunggingkan senyumannya.

Tiba- tiba, ia menepuk bahuku lalu bangkit berdiri. "Baiklah, besok kamu masuk kantor seperti biasa kan?" tanyanya.

"Ya, seperti biasa." ucapku.

Jaiden meneguk minumannya kemudian meletakkannya di meja. "Pintu keluar di sebelah sana kan?"

"Kamu mau pergi?" tanyaku. "Sebentar lagi ada makan malam."

"Makan malam terdengar bagus, tapi masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan hari ini."

"Pekerjaan apa?" tanyaku.

Jaiden mendengus. "Harus aku jawab pertanyaanmu yang itu?"

Aku bergidik. "Ya sudah. Kalo mau pergi silakan saja. Aku cuma bilang kamu bakal kehilangan makan malam yang lezat."

Skyscraper DesireWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu