B.3

5.8K 126 14
                                    

"Aku udah hancur, Nada. Aku kehilangan semuanya," adunya.

Aku mengerti tentang perusahaannya yang terancam bangkrut. Tak hanya aku, beberapa orang di perusahaan juga mendengar berita itu dan membuat diri mereka cemas. Tanganku yang lain membelai rambut hitamnya. Baru sekarang aku menyadari, tekstur rambut Biantara seperti milik adiknya. Hitam pekat dan tebal.

"Nggak ada orang yang benar-benar hancur atau kehilangan. Kamu masih punya banyak hal."

Ia melonggarkan pelukannya dan menatap mataku. Posisi kami berdua masih duduk di lantai dekat pintu depan yang terkunci.

"Ada apa?" tanyaku pelan.

Biantara menghirup napas panjang sebelum mengeluarkannya dengan keras. "Aku nggak punya apa-apa lagi. Perusahaan itu terancam gulung tikar. Mama menggunakan dana perusahaan untuk pengobatan ayah. Nggak ada simpanan pribadi yang bisa menutup utang keluargaku, bahkan jika harus menjual rumah," terangnya lalu tertunduk lesu.

Aku menangkup pipinya agar ia kembali memandangku. "Masih ada pabrik yang di Surabaya, kan? Kamu nggak kehilangan semuanya, kok," ujarku menenangkannya.

"Pabrik di sana hanya mampu bertahan untuk produksi sendiri. Nggak bisa menopang kondisi keuangan yang ada di sini."

"Kamu punya relasi. Ada banyak orang mumpuni di perusahaan itu yang mau membela kamu. Aku yakin itu."

Biantara menunduk dan menggeleng pelan. "Satu persatu dari mereka meninggalkan aku. Perlahan aku kehilangan apa yang telah menjadi milikku."

Wajah pria itu memandangku dengan raut menyesal. "Kamu akan ngelakuin hal yang sama?"

Hawa dingin seakan memelukku. "Ap-apa?" tanyaku dengan suara bergetar.

"Aku udah bangkrut, Nada!" bentaknya. "Nggak ada alasan nahan kamu lebih lama."

Mataku memanas saat rasa sakit menyeruak dari dadaku. Aku mengerang kecil saat leherku terasa tertusuk duri. Aku menatap Biantara dengan nanar.

"Kamu ... kamu yang maksa aku tinggal di sini. Kamu juga yang nahan aku buat nggak pergi. Cuma karena masalah kayak gini aja, kamu nyerah. Pengecut berengsek!" umpatku.

Biantara melihatku dengan tatapan murka. "Cuma? Aku kehilangan pabrik di Jakarta dan mungkin rumah, Nad! Kamu bilang itu 'cuma'?!" Suaranya menggelegar di tengah malam ini.

Kedua kakiku menekuk dan aku memeluknya. "Biantara hanya bertindak sok berkuasa saat ada harta yang menyokongnya?"

Biantara masih melihatku dengan raut marah.

"Padahal aslinya kamu laki-laki lemah. Pantas Inge milih nikah sama Rayhan daripada hidup untuk berbakti kepada kakaknya." Aku mengambil napas putus-putus. "Aku ngerti alasan Meisya ninggalin kamu."

"Nada—"

Aku menendangnya kuat-kuat dengan kedua kaki hingga pria itu akan terjungkal jika saja kedua tangannya tak menyangga tubuh sendiri.

"Bajingan!" makiku.

Kami sama-sama terdiam dan hanya desah napas kasarku yang terdengar. Aku terus menatapnya waspada sedangkan pria itu mengerang frustrasi. Ia mengacak rambut, tertunduk, sebelum melihatku lagi.

"Aku tau ini konyol," tawanya terdengar, "nggak mungkin aku ngerasa sepeduli ini sama kamu. Aku nggak ingin kamu ikutan ngerasa menderita di posisi aku sekarang ini. Kamu bener, Inge lebih baik sama Rayhan biar laki-laki itu memenuhi segala kebutuhannya."

Tak tahan lagi, aku maju, mengaitkan tangan kiriku dan tangan kanan Biantara. "Aku bertahan di sisi kamu. sekuat ini," tuturku sambil menunjukkan kaitan tangan kami.

"Aku mau liat, seberapa besar kamu menginginkan aku tetep di sini ... di sisi kamu. Seberapa kuat kamu nahan aku untuk tetap tinggal dan nggak pergi," ujarku dengan air mata yang tak dapat kubendung lagi.

Tangan kanan Biantara menarik tanganku hingga aku duduk di atas pahanya dan tangan kiri Biantara segera memeluk pinggangku. "Aku nggak pernah nyangka, kalo aku beneran jatuh cinta sama kamu, Nada Renjana."

Seperti sengatan asing meletup-letup di dadaku. Aku menangkup kedua pipinya. "Nggak ngerti cinta yang indah itu kayak apa, tapi aku mau nyoba gimana rasanya mencintai suami," balasku.

Dia meraih tubuhku agar lebih dekat lalu menciumku. Ciuman lembut tapi menuntut. Aku membalasnya dengan memagut bibirnya yang nikmat dan seakan begitu kurindukan. Kecupan kami berakhir saat kami mengejar napas masing-masing.

"Kamu lelah, Bian. Ayo, istirahat," ajakku.

Ia mengangguk, mengecup dahiku sebentar sebelum membawaku dalam gendongannya menuju kamar.

❤❤❤

BIANTARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang