#16 [END]

412 30 4
                                    

Evan langsung melaporkan kejadian ini kepada Pak Wityo dan pihak kepolisian. Setelah itu, beliau beserta beberapa polisi, tim medis dan forensik langsung bergegas ke villa ini. Mayat Tania juga sudah dibawa. Namun sebelumnya, Sasa sudah memberitahu kedua orangtuanya terlebih dahulu. Setelah memberitahu kedua orangtuanya, kedua pasangan paruh baya itu otomatis terkejut bukan main. Mereka langsung menangis, sama halnya dengan Sasa. Kehilangan seseorang yang sangat berarti di kehidupan kita itu memang menyakitkan. Apalagi kepergiannya sangat tiba-tiba. Baru dua hari yang lalu Sasa makan malam bersamanya, dan baru empat hari yang lalu Tania bermanja-manja dan mengatakan bahwa dia kangen dengan Sasa. Semuanya terasa terlalu cepat, secepat kedipan mata.

Malamnya, bintang-bintang berkelap-kelip di langit yang luas. Namun, aku malah merasakan ada aura kesedihan yang terpancar dari diri Sasa, hatiku ikut sedih saat melihatnya dalam keadaan yang tidak seperti biasanya ini. Perempuan itu bergelung di dalan selimut, punggungnya membelakangi sinar lampu meja yang redup. Bahunya naik turun, walau dia sedang dalam posisi memunggungiku, tapi aku tahu bahwa dia sedang menangis tanpa suara. Ingin sekali aku merangkulnya, dan mengatakan kalimat-kalimat yang mungkin bisa menenangkan hatinya sejenak. Namun, malam ini pikiranku berkecamuk dan kalimat-kalimat yang ingin kurangkai untuk dikatakan padanya itu mendadak hilang. Saat ini, otakku tidak bisa berkerja dengan baik. Melihat Sasa bahagia, aku juga turut bahagia. Melihatnya sedih, aku pun lebih sedih lagi.

Aku dapat merasakan Evan menepuk pundak kiriku sekali, lalu membisikkan sesuatu di telingaku. "Barusan Pak Wityo whatsapp gue, katanya pembunuh itu datang ke kantor polisi buat serahin diri."

Kontan saja, mataku terbelalak kaget mendengar satu kalimat yang keluar dari mulut Evan. Pembunuh itu bukan hanya keji, tapi dia juga gila! Seharusnya setelah melakukan hal yang tidak manusiawi itu, dia kabur, kan? Tapi, ini malah menyerahkan diri. Bukankah seharusnya ia tahu bahwa hukuman mati siap menyambutnya sesaat setelah dia menginjakkan kakinya di kantor polisi?

Aku bangkit berdiri dari tempat dudukku, kemudian dengan hati-hati dan dengan perlahan menghampiri Sasa. Bahu perempuan itu berhenti bergetar, aku yakin dia melihat bayanganku dari tembok dan dia memutuskan untuk berhenti menangis. Sambil sedikit membungkukkan badan, aku mengusap belakang kepalanya.

"Hei," sapaku. Dia hanya merespons dengan anggukkan kepala.

"Mau ikut ke kantor polisi, nggak? Katanya pembunuh itu serahin diri," lanjutku.

Dalam hitungan detik, Sasa langsung menyibakkan selimutnya dan menatapku dengan tatapan tajam, tapi terlihat ada kegusaran juga di kedua matanya itu. Tanpa berkata apa-apa, dia langsung bangkit berdiri dari ranjang dan berjalan melewatiku.

Aku langsung meraih tangan Sasa supaya ia berhenti berjalan. Langkah kaki Sasa lantas berhenti, ia menoleh ke belakang dengan tatapan datar. Tatapan itu... aku tidak pernah melihatnya sebelumnya.

"Jalannya bareng," ucapku, tak lupa aku tersenyum. Mungkin, saat ini hanya senyuman hangat yang bisa aku berikan padanya.

Kemudian, Sasa merespons dengan anggukkan kepala yang lemah. Setelah itu, aku menautkan jari-jari tanganku dengannya. Kami berjalan beriringan keluar dari villa ini. Saat sedang di mobil sampai ke kantor polisi pun, tangan kami masih saling bertautan. Aku pikir, mungkin aku tidak perlu mengutarakan perasaanku yang sebenarnya pada Sasa. Karena dengan hubungan kami yang masih sahabatan pun, aku sudah merasa nyaman. Aku tetap bisa melindunginya tanpa perlu status sebagai pacar.

Dikarenakan macet yang melanda, kami semua tiba di kantor polisi dalam waktu setengah jam. Millen juga ikut dengan kami karena tadi dia memang sedang berada di kamarku.

Sesaat setelah kami sampai di kantor polisi, aku merasa ada yang aneh saat melihat tatapan yang Millen berikan pada satu cowok yang tengah duduk di lantai.

Kasus RahasiaWhere stories live. Discover now